Sidebar

Mengingat Sajak Taufiq Ismail kepada Penguasa di 1960-an

Saturday, 19 Dec 2020 12:50 WIB
Sastrawan Taufiq Ismail dalam kapasitasnya sebagai sesepuh Gerakan Bela Negara di Kantor Redaksi Republika, Selasa (8/9).

IHRAM.CO.ID, Pada pertarungan politik di tahun 1965 ada sebuah renungan yang menarik dari puisi Taufiq Ismail. Kala itu dia baru saja dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB).


Keterlibatan Taufiq bersama para aktivis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan yang oleh kelompok komunis disebut dengan sebutan Manikebu dianggap bermasalah bagi penguasa kala itu.


Namun tak hanya Taufiq yang dipecat dari dosen dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat gagal total, HB Jassin yang kala itu sebagagai dosen dan kemudian disebut Paus Sastra itu, juga harus menanggalkan statusnya sebagai pengajar di Universitas Indonesia.

''Bertepatan dengan pelarangan Maniges Kebudayaan oleh Bung Karno, melanjutkan kuliah di Amerika kala itu pun urung. Saya ingat pelarangan itu muncul di hari Selasa, lalu kepergian ke Amerika yang pada hari Jumat pun gagal. Padahal tiket dan bea siswa sudah ditangan. Kami pun sudah melakukan selamatan keluarga,'' kata Taufiq Ismail, dalam sebuah perbincangan dengan Republika.co.id, beberapa waktu silam di kediamannya di 'Rumah Puisi' Air Angek, Kabuaten Tanah Datar, Sumatra Barat.

Saat ini, entah kenapa sajak Taufiq Ismail yang berjudul 'Surat Ini Adalah Sajak Terbuka' beredar di grup-grup Wattapps. Tiba-tiba puisi yang berada dalam antologi 'Tirani dan Benteng' hadir kembali. Layaknya lirik  Taufiq Ismail pada lagu 'Dunia Panggung Sandiwara' yang dinyanyikan legenda rocker Ahmad Albar terus dinikmati publik kembali.


Begini sajak tersebut selengkapnya:

----------

SURAT INI ADALAH SEBUAH SAJAK TERBUKA

Taufiq Ismail

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka

Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh

Seorang warganegara biasa

Dari republik ini

Surat ini ditujukan kepada

Penguasa-penguasa negeri ini.

Mungkin dia bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.

Barangkali dia Ketua MPRS

Taruhlah dia anggota DPR

Atau pemilik sebuah perusahaan politik

(bernama partai)

Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa

Atau Menteri. Apa sajalah namanya

Malahan mungkin dia saudara sendiri

Jika ingin saya tanyakan adalah

Tentang harga sebuah nyawa di negara kita

Begitu benarkah murahnya? Agaknya

Setiap bayi dilahirkan di Indonesia

Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya

Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama

Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya

Di kamar bersalin

Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin

Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini

Ketika itu tak seorangpun tahu

Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian

Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri

Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi

Serta pajak kita semua

Di jalan raya... di depan kampus atau di mana saja

Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang melahirkannya. 

Jauh dari ayahnya

Yang juga mungkin sudah tiada.

Bayi itu pecahlah dadanya. 

Mungkin tembus keningnya

Darah telah mengantarkannya ke dunia

Darah kasih sayang

Darah lalu melepasnya dari dunia

Darah kebencian

Yang ingin saya tanyakan adalah

Tentang harga sebuah nyawa di negara kita

Begitu benarkah gampangnya?

Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian

Begitu benarkah murahnya? 

Mungkin sebuah

Nama lebih penting

Disiplin tegang dan kering

Mungkin pengabdian kepada negara asing

Lebih penting

Mungkin

Surat ini adalah sebuah sajak terbuka

Maafkan para studen sastra. 

Saya telah menggunakan bahasa terlalu biasa

Untuk puisi ini. 

Kalaulah ini bisa disebut puisi

Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa

Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun

Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa

Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)

Kemudian kita dipenuhi pertanyaan

Benarkah nyawa begitu murah harganya?

Untuk suatu penyelesaian

Benarkah harga-diri manusia kita

Benarkah kemanusiaan kita

Begitu murah untuk umpan sebuah pidato

Sebuah ambisi

Sebuah ideologi

Sebuah coretan sejarah

Benarkah?

 

(@Taufiq Ismail - Tirani dan Banteng 1965)

r">

Berita terkait

Berita Lainnya