Mengingat Sajak Taufiq Ismail kepada Penguasa di 1960-an
IHRAM.CO.ID, Pada pertarungan politik di tahun 1965 ada sebuah renungan yang menarik dari puisi Taufiq Ismail. Kala itu dia baru saja dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Keterlibatan Taufiq bersama para aktivis yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan yang oleh kelompok komunis disebut dengan sebutan Manikebu dianggap bermasalah bagi penguasa kala itu.
Namun tak hanya Taufiq yang dipecat dari dosen dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat gagal total, HB Jassin yang kala itu sebagagai dosen dan kemudian disebut Paus Sastra itu, juga harus menanggalkan statusnya sebagai pengajar di Universitas Indonesia.
''Bertepatan dengan pelarangan Maniges Kebudayaan oleh Bung Karno, melanjutkan kuliah di Amerika kala itu pun urung. Saya ingat pelarangan itu muncul di hari Selasa, lalu kepergian ke Amerika yang pada hari Jumat pun gagal. Padahal tiket dan bea siswa sudah ditangan. Kami pun sudah melakukan selamatan keluarga,'' kata Taufiq Ismail, dalam sebuah perbincangan dengan Republika.co.id, beberapa waktu silam di kediamannya di 'Rumah Puisi' Air Angek, Kabuaten Tanah Datar, Sumatra Barat.
Saat ini, entah kenapa sajak Taufiq Ismail yang berjudul 'Surat Ini Adalah Sajak Terbuka' beredar di grup-grup Wattapps. Tiba-tiba puisi yang berada dalam antologi 'Tirani dan Benteng' hadir kembali. Layaknya lirik Taufiq Ismail pada lagu 'Dunia Panggung Sandiwara' yang dinyanyikan legenda rocker Ahmad Albar terus dinikmati publik kembali.
Begini sajak tersebut selengkapnya:
----------
SURAT INI ADALAH SEBUAH SAJAK TERBUKA
Taufiq Ismail
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh
Seorang warganegara biasa
Dari republik ini
Surat ini ditujukan kepada
Penguasa-penguasa negeri ini.
Mungkin dia bernama Presiden. Jenderal. Gubernur.
Barangkali dia Ketua MPRS
Taruhlah dia anggota DPR
Atau pemilik sebuah perusahaan politik
(bernama partai)
Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa
Atau Menteri. Apa sajalah namanya
Malahan mungkin dia saudara sendiri
Jika ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah murahnya? Agaknya
Setiap bayi dilahirkan di Indonesia
Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya
Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama
Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya
Di kamar bersalin
Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin
Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini
Ketika itu tak seorangpun tahu
Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian
Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri
Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi
Serta pajak kita semua
Di jalan raya... di depan kampus atau di mana saja
Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang melahirkannya.
Jauh dari ayahnya
Yang juga mungkin sudah tiada.
Bayi itu pecahlah dadanya.
Mungkin tembus keningnya
Darah telah mengantarkannya ke dunia
Darah kasih sayang
Darah lalu melepasnya dari dunia
Darah kebencian
Yang ingin saya tanyakan adalah
Tentang harga sebuah nyawa di negara kita
Begitu benarkah gampangnya?
Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian
Begitu benarkah murahnya?
Mungkin sebuah
Nama lebih penting
Disiplin tegang dan kering
Mungkin pengabdian kepada negara asing
Lebih penting
Mungkin
Surat ini adalah sebuah sajak terbuka
Maafkan para studen sastra.
Saya telah menggunakan bahasa terlalu biasa
Untuk puisi ini.
Kalaulah ini bisa disebut puisi
Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa
Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun
Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa
Kita tak bisa membiarkannya lebih lama)
Kemudian kita dipenuhi pertanyaan
Benarkah nyawa begitu murah harganya?
Untuk suatu penyelesaian
Benarkah harga-diri manusia kita
Benarkah kemanusiaan kita
Begitu murah untuk umpan sebuah pidato
Sebuah ambisi
Sebuah ideologi
Sebuah coretan sejarah
Benarkah?
(@Taufiq Ismail - Tirani dan Banteng 1965)