Penyebab Program Tenaga Kerja Mandiri tak Tepat Sasaran

Program Tenaga Kerja Mandiri sangat rawan diselewengkan.

Dok Disnakertrans
Suasana pembekalan terhadap peserta program tenaga kerja mandiri (TKM). Program TKM sangat rawan diselewengkan karena syarat yang dianggap mudah diselewengkan.
Rep: Novita Intan Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat berharap tidak ada lagi pejabat yang korupsi dana bantuan program penanggulangan bagi masyarakat terdampak Covid-19. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta turun tangan memantau program jaring pengaman sosial (JPS) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan bantuan JPS merupakan kewajiban bagi pemerintah kepada masyarakat yang terdampak Covid-19, sebab kondisi ekonomi dalam keadaan kesulitan akibat pandemi Covid-19. "Tidak sedikit antara mereka yang belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selain faktor karena data yang tidak akurat dalam pendistribusian bantuan tersebut, juga karena ketidaksiapan pemerintah dalam penanganan masalah tersebut," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (30/12).

JPS berpotensi diselewengkan karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Dia mencontohkan, program tenaga kerja mandiri (TKM) dan padat karya yang diluncurkan Menaker Ida Fauziyah yang diklaim merupakan langkah strategis penanganan Covid-19.

Program JPS Kemnaker terdiri dari program TKM untuk penciptaan wirausaha dan padat karya, yang dapat menjadi pilihan bagi masyarakat agar terhindar atau mengurangi dampak dari pandemi. "TKM program untuk masyarakat yang punya usaha kecil. Sedangkan program padat karya untuk pengangguran atau setengah pengangguran, tapi yang lebih siap yang sudah punya usah kecil," ucapnya.

Namun, Uchok menyebut, program TKM sangat rawan diselewengkan karena syarat yang dianggap mudah diselewengkan. Persyaratan ringan seperti cukup membentuk kelompok, ada surat pernyataan dari desa bahwa kelompok itu benar-benar ada di desanya dan jenis usaha tergantung kelompok dan kearifan lokal.

"Persyaratan ini rawan adanya kebocoran anggaran karena dengan persyarayan ini, terlihat Kemnaker tidak punya data. Misalnya di desa, siapa saja yang sudah kerja, berapa angka pengangguran, atau setengah pengangguran di desa," jelasnya.

Belum cukup sampai di situ, Uchok juga menjabarkan kekurangan program TKM dan padat karya. Menurut dia minimnya data tentang kondisi di desa merupakan bukti Kemnaker tidak memiliki sumber daya manusia yang siap menjalankan program TKM

"Program Padat Karya dan TKM banyak potensi gagalnya. Data pengangguran yang akurat itu belum dimiliki Kemnaker. Untuk sementara, yang mendapatkan bantuan program ini mungkin bisa keluar dari masalah ekonomi. Tapi, bagaimana mereka yang harusnya mendapatkan bantuan, tapi belum tersentuh dengan bantuan, Kemnaker mau kasih bantuan program apa," ucapnya.

Periode per 2 Oktober 2020, Kemnaker telah menyalurkan bantuan kepada program TKM kepada 1.985 kelompok wirausaha, dengan melibatkan 39.700 orang dan 1.091 kelompok Padat Karya dengan melibatkan 21.820 orang. Adapun penerima bantuan tersebut, nantinya mendapatkan pembekalan pelatihan berkelanjutan, dan didampingi langsung dari Kemnaker.

Tapi, Uchok tidak lantas percaya dengan data tersebut. Sebab data tersebut harus dicroscek benar atau tidak penerima TKM dan Padat Karya di lapangan.

"Kemnaker harus transparan dan membuka ke publik siapa saja dan kelompok mana saja yang mendapat bantuan program tersebut, dan berapa anggaran yang sudah dikeluarkan," tegasnya.

Untuk menghindari penyelewengan dana bantuan Covid-19 itu, Uchok berharap aparat penegak hukum KPK bisa ikut memantau program JPS di Kemnaker tersebut. "Karena itu, meminta kepada KPK untuk mengawasi program ini. Kalau datanya tidak akurat, maka sangat berpotensi terjadi kebocoran anggaran," ucapnya.



Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler