Protes Nurdin Atas Temuan Drone di Kepulauan Selayar

Menurut TNI AL, drone yang ditemukan biasa digunakan untuk riset bawah laut.

Antara/M Risyal Hidayat
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono menjelaskan tentang penemuan alat berupa ea Glider' saat konferensi pers di Pushidrosal, Ancol, Jakarta, Senin (4/1/2021). KSAL menjelaskan bahwa SeaGlider yang ditemukan oleh nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan tersebut berupa alat yang berfungsi untuk mengecek kedalaman laut dan mencari informasi di bawah laut itu akan diteliti lebih lanjut.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Gubernur Sulawesi Selatan, HM Nurdin Abdullah, mengajukan protes kepada pemerintah China atas penemuan drone di Pulau Tenggol, Masalembu, dan Kepulauan Selayar. Nurdin Abdullah di Makassar, Senin (4/1), mengatakan Pemprov Sulsel juga telah berkoordinasi dengan Danlantamal VI terkait penemuan UUV (unmanned underwater vehicle) atau drone tersebut.

"Sekarang itu kami sudah complain nota diplomatik ke kedutaan besar China," ujarnya usai mengikuti rapat kerja pelaksanaan kegiatan anggaran 2021 dan evaluasi kegiatan 2020.

Ia menjelaskan penemuan drone yang diduga kuat milik China itu merupakan tindakan yang harus mendapatkan perhatian serius. Ia juga menyatakan jika keberadaan drone di daerah itu merupakan aktivitas mata-mata sehingga patut diwaspadai.

"Itu mata-mata. Kami sudah berkoordinasi dengan Danlantamal, Angkatan Laut (terkait penemuan drone itu)," ujarnya.

Beberapa waktu lalu, seorang nelayan di Sulawesi menemukan drone bawah laut yang diduga milik China di perairan Selayar. UUV diangkat dari air oleh nelayan setempat pada tanggal 20 Desember lalu, tapi baru dilaporkan ke pihak berwenang enam hari kemudian.

Drone yang ditemukan tersebut memiliki panjang 225 cm, dengan lebar sayap 50 cm dan antena sepanjang 93 cm. Awalnya drone ini diserahkan ke polisi, tetapi sekarang telah disita oleh pihak TNI dan dipindahkan ke Pangkalan Angkatan Laut Utama ke-6 di Makassar untuk diperiksa.

Publik diminta tidak berpolemik atas penemuan drone bawah laut di perairan Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, akhir tahun lalu. "Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI khususnya TNI AL pasti akan menangani permasalahan itu," kata Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Simanjuntak, dalam siaran persnya, Senin (4/1).

Saat ini, lanjut dia, TNI AL sudah menyatakan bahwa drone laut yang ditemukan adalah SeaGlider yang biasa digunakan untuk survei data oseanografi. Bahkan, untuk menyelidiki lebih dalam TNI AL melalui Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL akan meneliti drone itu.

Menurut dia, Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, sejak awal berkomitmen untuk memperkuat pertahanan Indonesia. "Itulah mengapa beliau melakukan muhibah ke banyak negara produsen alutsista terbaik guna mendapatkan alutsista terbaik pula. Ini untuk memperkuat pertahanan Indonesia, baik laut, udara dan darat, serta kepentingan memperkuat diplomasi pertahanan tentunya," ujarnya.

Prabowo, tambah dia, berharap rakyat Indonesia terus mendukung TNI bekerja keras untuk pertahanan Indonesia dan mari bersama memperkuat pertahanan rakyat semesta untuk memastikan NKRI yang lebih kuat. Di tempat terpisah, Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Yudo Margono, menyebutkan drone bawah laut yang ditemukan nelayan di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, merupakan SeaGlider yang digunakan untuk riset bawah laut.

"Alat ini SeaGlider. Banyak digunakan untuk keperluan survei atau untuk mencari data oseanografi di laut, di bawah lautan," kata dia, dalam jumpa pers di Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, di Jakarta Utara.

Menurut dia, SeaGlider memang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan industri, survei, ataupun kepentingan militer karena kemampuannya dalam memetakan kondisi tertentu. "Alat ini bisa digunakan untuk industri maupun digunakan untuk pertahanan. Tergantung siapa yang memakai," ujar dia.

Yudo memaparkan kepentingan untuk industri biasanya untuk kepentingan pengeboran dan mencari ikan. Di sisi lain, untuk kepentingan pertahanan, alat itu dapat dipakai guna meneliti info seputar kedalaman laut supaya kapal selam tidak terdeteksi radar.

Yudo menjelaskan bahwa alat itu tidak tidak bisa untuk mendeteksi kapal selam maupun mendeteksi kapal atas air karena tidak memiliki fungsi mendeteksi kapal lain layaknya sonar pada kapal perang. "Ini hanya untuk data-data batrimeti atau kedalaman air laut di bawah permukaan. Tidak bisa alat ini untuk mendeteksi keberadaan kapal-kapal kita, kapal atas air," kata mantan Pangkogabwilhan I ini.

Yudo pun menegaskan bahwa alat tersebut bukanlah alat yang bisa untuk kepentingan mata-mata, melainkan untuk riset bawah laut. Berdasarkan penelitian TNI AL selama 1 minggu, SeaGlider berukuran 2,25 meter itu terbuat dari aluminium dengan dua sayap, propeller, serta antena belakang.

Di badan SeaGlider, terdapat instrumen yang mirip kamera."Badannya terbuat dari aluminium dengan dua sayap 50 cm, panjang bodi 225 cm, kemudian propeller 18 cm di bawah, panjang antena yang belakang 93 cm. Terdapat pula instrumen mirip kamera terletak di bodi, ini yang di atas sini," ujarnya.

Namun, Yudo tidak menemukan logo ataupun ciri-ciri perusahaan pembuat SeaGlider itu. Ia pun menegaskan bahwa pihaknya tidak mengubah ataupun mengutak-atik SeaGlider itu sama sekali. "Tidak ditemukan pula ciri-ciri perusahaan negara pembuat. Tidak ada tulisan apa pun di sini, dari awalnya demikian. Kami tidak merekayasa, masih persis seperti yang ditemukan nelayan," katanya menegaskan.

SeaGlider itu, kata dia, kondisinya masih sama seperti saat pertama kali ditemukan oleh para nelayan pada tanggal 26 Desember 2020. Nelayan yang menemukan melaporkannya ke Babinsa, lalu dibawa ke Koramil setempat.

Setelah mendapat persetujuan dengan Dandim Selayar, TNI AL mendapatkan izin untuk melakukan kerja sama mengenai penelitian SeaGlider itu. "Karena ada hubungannya dengan Angkatan Laut dan penelitian, kami teliti tentang fungsi alat tersebut sehingga kami bawa ke sini (Pushidrosal)," ujarnya. TNI AL pun berencana menggandeng Kementerian Riset dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) guna mendalami temuan tersebut.

Baca Juga


Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono menjelaskan tentang penemuan alat berupa seaglider saat konferensi pers di Pushidrosal, Ancol, Jakarta, Senin (4/1/2021). KSAL menjelaskan bahwa seaglider yang ditemukan oleh nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan tersebut berupa alat yang berfungsi untuk mengecek kedalaman laut dan mencari informasi di bawah laut itu akan diteliti lebih lanjut. - (Antara/M Risyal Hidayat)








 

Anggota Komisi I DPR Sukamta meminta agar pemerintah segera bertindak dalam menanggapi masuknya drone bawah air ke teritori Indonesia. Salah satunya dengan segera mengungkap siapa pemilik barang tersebut.

"Pemerintah dalam hal ini lembaga pertahanan yang terkait segera bisa mengungkapkan identitas dan asal usul drone tersebut. Supaya bisa segera diambil tindakan lanjutan yang memadai," ujar Sukamta lewat pesan singkat, Senin (4/1).

Selain itu, isi dari SeaGlider atau drone tersebut juga perlu diselidiki oleh lembaga terkait. Sebab, ditakutkan alat tersebut tengah merekam dan meneliti kondisi laut Indonesia.

"Ini sekedar orang iseng atau nelayan yang mau cari ikan atau Pertamina yang sedang mencari ladang minyak baru, atau itu mata-mata negara asing," ujar Sukamta.

Pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, mengharapkan pemerintah tidak menganggap remeh penemuan drone. "Kemhan, Mabes TNI dan Mabes TNI AL tidak boleh memandang remeh hasil temuan ketiga UUV beberapa waktu yang lalu. Jangan sampai konsentrasi menghadapi Covid-19 kemudian mengurangi Kewaspadaan Nasional terhadap bahaya perang besar di Laut Cina Selatan," katanya.

Susaningtyas mengatakan penemuan UUV atau unmanned underwater vehicle itu merupakan fakta bahwa penggunaan unmanned system (sistem tanpa awak) telah dilakukan oleh berbagai negara maju di laut. Ia mengungkap, UUV yang ditemukan  prajurit TNI AL berlabel Shenyang Institute of Automation Chinese Academic of Sciences merupakan platform khusus yang dirancang untuk mendeteksi kapal-kapal selam non-China dan merekam semua kapal-kapal yang beroperasi di perairan Asia Tenggara dan Laut China Selatan. Penemuan UUV ini juga menunjukkan bukti bahwa perairan Indonesia menjadi "spillover" atau adu kekuatan militer antara China dan Amerika Serikat berikut sekutunya.

Bukan tidak mungkin China atau negara lainnya sudah meluncurkan Unmanned Sub-Surface Vehicle (USSV) yang sudah membawa persenjataan. "USSV ini lebih berbahaya daripada UUV," katanya dalam keterangan tertulisnya. Wanita yang biasa disapa Nuning ini menjelaskan, semua UUV yang ditemukan dalam kondisi malfunction dan bukan expired, yang artinya ada kendala teknis internal di dalam sistemnya.

Dari analisa awal, ketiga UUV diperkirakan sudah memiliki jam selam lebih dari 25.000 atau mendekati 3 tahun. Kemungkinan besar UUV tersebut diluncurkan November 2017. Menurut dia, langkah-langkah strategis yang dilakukan pemerintah terkait penemuan UUV itu, yakni pertama, dari aspek hukum, perlu segera ditetapkan peraturan penggunaan semua jenis unmannedsystem di wilayah Indonesia baik UAV di udara, USV di permukaan laut maupun UUV di bawah permukaan laut.

Sejalan dengan itu, lanjut Nuning, juga dibutuhkan peraturan pemerintah yang menentukan tata cara menghadapi penelitian ilegal di perairan Indonesia, mulai dari perairan kepulauan hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE). Selain itu, Kementerian Pertahanan dapat mengajak Kementerian Perhubungan untuk segera memasang underwater detection device (UUD) atau alat deteksi di dalam laut di seluruh Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan semua selat strategis untuk memantau semua lalu lintas bawah laut, utamanya di Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Makassar, Selat Sunda dan Selat Lombok.

"TNI AL harus segera melengkapi Puskodal-nya dengan sistem pemantauan bawah laut diperkuat dengan 'smart mines' yang dapat dikendalikan secara otomatis atau manual. Kapal-kapal perang TNI AL juga harus dilengkapi dengan Anti-USSV System yang dapat menghadapi serangan USSV," papar Nuning.

TNI AL juga harus meningkatkan sistem pendidikan bagi prajurit TNI AL agar memiliki kecakapan melakukan peperangan Anti-USSV sebagai bagian dari kemampuan peperangan anti-unmanned system.


Jepang dan China menurunkan kekuatan militer di Laut China Timur menyusul sengketa kepulauan. - (Japan Times/Reuters)

 









Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler