Pasien ICU Covid-19 Berisiko Tinggi Alami Disfungsi Otak

Sebagian dari pasien ICU mengalami koma dan delirium.

AP/Jorge Saenz
Pasien Covid-19 di ICU rumah sakit. Rata-rata kasus delirium dan koma ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena gagal napas akut.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, NASHVILLE -- Pasien Covid-19 yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) pada bulan-bulan awal pandemi menunjukkan risiko tinggi disfungsi otak. Menurut sebuah studi, sebagian dari pasien ICU tersebut mengalami koma dan delirium.

Koma merupakan istilah untuk kondisi tidak sadar dalam waktu panjang. Sementara, delirium merupakan gangguan serius pada kemampuan mental yang menyebabkan kebingungan dan kurangnya kesadaran akan lingkungan sekitar.

Studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Respiratory Medicine itu melacak kasus delirium dan koma pada lebih dari 2.000 pasien Covid-19 yang dirawat sebelum 28 April 2020. Mereka ditangani di 69 unit perawatan intensif di 14 negara.

Rata-rata kasus delirium dan koma ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena gagal napas akut. Pilihan obat penenang dan pembatasan kunjungan keluarga turut berperan dalam meningkatkan disfungsi otak akut pada pasien.

Riset yang digagas oleh Pusat Medis Universitas Vanderbilt di Nashville, Amerika Serikat, itu memaparkan, ada 82 persen pasien dalam penelitian mengalami koma selama rata-rata 10 hari. Sebanyak 55 persen persen mengigau selama rata-rata tiga hari.

"Ini dua kali lipat dari apa yang terlihat pada pasien ICU non-Covid," kata salah satu penulis studi, Brenda Pun, seperti dikutip dari laman Times Now News, Selasa (12/2).

Baca Juga


Para ilmuwan percaya bahwa Covid-19 dapat memengaruhi pasien dengan beban disfungsi otak akut yang lebih tinggi. Namun, mereka juga mencatat bahwa faktor perawatan pasien, termasuk tekanan yang ditimbulkannya, turut memainkan peran penting.

Sebagai perbandingan, pasien yang rutin menerima kunjungan keluarga berisiko 30 persen lebih rendah untuk mengigau. Sebaliknya, pasien yang menerima infus sedatif benzodiazepin berisiko 59 persen lebih tinggi mengalami delirium.

Sehubungan dengan kasus demikian, para ilmuwan yakin banyak terjadi pengabaian protokol klinis selama perawatan pasien Covid-19. Dalam temuan mereka, sejumlah ICU kembali ke praktik sedasi yang tidak sejalan dengan pedoman praktik ideal.

Laporan awal menunjukkan bahwa disfungsi paru-paru yang terlihat pada pasien Covid-19 membutuhkan teknik manajemen tertentu, termasuk sedasi dalam. Dalam prosesnya, langkah-langkah pencegahan utama terhadap disfungsi otak akut agak diabaikan.

Tim menganalisis karakteristik pasien dari catatan kesehatan elektronik dan praktik perawatan serta temuan penilaian klinis. Hasilnya, 90 persen pasien memiliki ventilasi mekanis invasif di beberapa titik selama rawat inap dan 67 persen pada hari masuk ke ICU.

Penulis senior studi, Pratik Pandharipande, mengatakan bahwa sebagian besar periode disfungsi otak akut yang berkepanjangan sebenarnya dapat dihindari. Tim ICU terutama perlu kembali ke tingkat sedasi yang lebih ringan untuk pasien ini.

Caranya, dengan melakukan frequent awakening dan uji coba pernapasan, juga kunjungan yang aman secara langsung atau virtual. "Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa situasi pasien berubah setelah penelitian kami berakhir," ungkap Pandharipande.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler