Putusan Dugaan Genosida Rohingya Diperkirakan Ditunda
IHRAM.CO.ID, WASHINGTON -- Mahkamah Internasional (ICJ) diperkirakan menunda putusan terkait dugaan genosida Muslim Rohingya oleh Myanmar. Hal itu karena Myanmar mengajukan keberatan awal dalam kasus tersebut.
“Putusan akhir ICJ tentang apakah Myanmar melanggar Konvensi Genosida, dan karena itu reparasi apa yang diperlukan, akan ditunda oleh waktu yang dibutuhkan pengadilan untuk mendengarkan argumen serta memutuskan keberatan awal, penundaan kemungkinan setidaknya satu tahun," kata Global Justice Center (GJC) yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), dalam ringkasan hukumnya, dikutip laman Anadolu Agency, Ahad (24/1).
Myanmar mengajukan keberatan atas apakah Gambia memenuhi syarat untuk mengajukan kasus dugaan genosida Muslim Rohingya ke ICJ. “Keberatan tersebut menantang kemampuan Gambia untuk mengajukan tuntutan genosida terhadap negara Myanmar,” kata GJC.
Keberatan awal digunakan di ICJ untuk mengangkat masalah, sebagian besar prosedural, yang menurut seorang responden, dalam konteks ini Myanmar, harus diselesaikan sebelum kasusnya berhasil.
"Keberatan semacam itu sering kali diajukan karena ada kemungkinan bahwa penyelesaian keberatan tersebut dapat mengakibatkan pengadilan menolak untuk memutuskan masalah substantif dari suatu kasus," kata GJC.
Pada November 2019, Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ di Den Haag, Belanda. Gambia menilai Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut.
Persidangan pertama kasus dugaan genosida Rohingya digelar selama tiga hari pada 10-12 Desember 2019. Dalam putusan awalnya pada Januari lalu, ICJ meminta Myanmar untuk mencegah genosida Rohingya lebih lanjut. Negara itu pun diharuskan memberi laporan terkait tindakan pencegahan yang diambilnya setiap enam bulan sekali.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil turut menjadi korban dalam operasi tersebut.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di ICC. (Reuters/Kamran Dikarma)