Pajak Pulsa, Kartu Perdana, Token Listrik Tak Kerek Harga?
IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak Bawono Kristiadji pada Minggu meyakini pengenaan Pajak Pertambahan Nilan (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pada pulsa, kartu perdana, token listrik, pulsa, dan voucer tidak akan menyebabkan kenaikan harga di tingkat konsumen.
Pengenaan pajak tersebut akan berlaku mulai 1 Februari 2021, seperti tertera dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 6/PMK.03/2021 tentang penyederhanaan PPN dan PPh atas pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucer.
Bawono beralasan, karena sistem yang berlaku saat ini mencegah adanya dampak pajak bagi kenaikan harga di tingkat konsumen.
"Perlu dipahami bahwa sistem PPN yang kita anut berprinsip netral dan menggunakan mekanisme pajak keluaran-pajak masukan, artinya sistemnya sendiri telah mencegah adanya dampak pajak bagi kenaikan harga di tingkat konsumen." kata Bawono, dalam penjelasan tertulis kepada Anadolu Agency, pada Ahad (31/1).
Bawono mengatakan, dalam beleid tersebut juga telah dijelaskan, pemungutan PPN atas penyerahan pulsa/kartu perdana hanya berlaku hingga distributor kedua.
"Sedangkan untuk jasa penjualan voucer atau token listrik, yang dikenakan ialah jasanya, jadi bukan dikenakan atas voucer atau listriknya," kata Bawono.
Adapun pengenaan PPh, khususnya PPh Pasal 22 dan 23, yang diatur dalam beleid ini menggunakan mekanisme pajak yang dibayar dimuka atau withholding tax, jelas Bawono.
"Jadi atas pembayaran pajak di muka tersebut nantinya bisa menjadi pengurang pajak di SPT (mekanisme pengkreditan pajak). Sehingga, ini bukan biaya yang timbul seperti halnya pajak final," tambah Bawono.
Apakah kebijakan seperti ini berlaku juga di negara lain, sehingga Indonesia menerapkan kebijakan yang sama? Menurut Bawono, dalam pengenaan pajak, setiap negara memiliki keleluasaan untuk mendesain sistem pajaknya masing-masing.
Dalam konteks pulsa, kartu perdana, dan jasa telekomunikasi, kata Bawono, secara praktik umum merupakan pajak atas barang atau jasa yang bersifat konsumsi.
Di Indonesia, barang dan jasa tersebut sudah sejak lama telah dikenakan PPN. Dan atas jasa penjualan atau pemasaran produk-produk tersebut juga telah dikenakan PPh.
Dalam kondisi fiskal dewasa ini pemerintah perlu melakukan kebijakan pajak untuk tujuan relaksasi maupun mobilisasi penerimaan, kata Bawono.
"Tanpa adanya upaya-upaya memobilisasi penerimaan, justru terdapat risiko atas kesinambungan fiskal di masa mendatang," tutur dia.
Selama ini, kata dia, tingkat kepatuhan PPh dan PPN atas pulsa, token listrik, voucer, dan kartu perdana, kurang optimal sehingga pemerintah membuat kebijakan baru agar penerimaan pajak di sektor ini meningkat.
Bawono maupun Kementerian Keuangan tidak menjelaskan berapa potensi pajak yang selama ini hilang dan berapa potensi penerimaan dari kebijakan baru ini.
Bawono berpendapat kebijakan ini tetap dapat dilanjutkan dan diimplementasikan mulai 1 Februari besok, namun Kementerian Keuangan perlu membuat penjelasan yang lebih lengkap agar tidak terjadi perdebatan di kalangan masyarakat.
"Selain itu, sama halnya dengan produk hukum pajak lainnya, diperlukan suatu evaluasi berkala untuk melihat implementasinya di lapangan," terang Bawono.
Sebelumnya masyarakat Indonesia menyoroti kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang diterbitkan pada 22 Januari lalu.
Melihat reaksi yang cukup besar, di akun Instagramnya, Sri Mulyani menegaskan kebijakannya tidak akan menyebabkan kenaikan harga di tingkat konsumen.