NU dan Masyumi: Berpisah Tetapi Tetap Kompak
NU dan Masyumi, Berpisah Tetapi Tetap Kompak
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, mantan Staf M Natsir dan Wapers Hamzah Has.
TANGGAL 31Januari 2021, Nahdlatul Ulama (NU) genap 95 tahun. Peringatan ulang tahun organisasi dirayakan sampai ke Istana. Presiden Joko Widodo secara khusus menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada seluruh kaum Nahdliyyin.
Yang terasa istimewa, Presiden ke-5, Megawati Sukarnoputri turun gunung untuk menyelamati HUT ke-95 NU. Megawati antara lain mengenang persahabatan ayahandanya, Presiden Sukarno, dengan para pemimpin NU di masa lalu sembari berjanji akan melanjutkan persahabatan itu sekarang dan di masa depan.
Persahabatan Sukarno dengan para Pemimpin Islam
BUNG KARNO memang akrab dengan para pemimpin Islam. Ketika bersekolah di Surabaya, dia in de kost di rumah pemimpin Sarekat Islam, Yang Utama H.O.S. Tjokroaminoto.
Dalam suatu pidato di depan peserta Muktamar Muhammadiyah pada awal 1960-an, Bung Karno mengaku telah ikut mengaji kepada pendiri Muhammadiyah, K.H.A. Dahlan, sejak usia 15 tahun. Sejak itu dia "ngintil" Kiai Dahlan.
Yang paling fenomenal tentulah persahabatannya dengan guru utama Persatuan Islam (Persis), Tuan Ustadz A. Hassan.
Ketika Sukarno dibuang ke Endeh, adalah Tuan Hassan yang melayani dahaga spiritualnya. Korespondensi Sukarno ke Ustadz Hassan menjadi bagian tersendiri di dalam kumpulan tulisan Bung Karno, Dibawah Bendera Revolusi Djilid I, "Surat-surat Islam dari Endeh".
Demikian sangat akrabnya hubungan Sukarno dengan A. Hassan sehingga Bung Karno tidak sungkan curhat kepada Tuan Hassan. Dalam surat kepada Tuan Hassan tertanggal 12 Juni 1936, Sukarno mengeluhkan kesulitan keuangan yang dihadapinya di tempat pembuangan karena "saya punya onderstand dikurangi, padahal tadinya pun sudah sesak sekali buat membelanjai segala saya punya keperluan."
Lebih lanjut Sukarno bercerita bahwa dirinya saat itu sedang menerjemahkan sebuah buku berbahasa Inggeris "yang mentarichkan Ibnu Saud." Bung Karno menyebut biografi Ibnu Saud itu "bukan main hebatnya."
Kepada Ustadz Hassan, Bung Karno bercerita bahwa "biografi itu menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabisme begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan sedemikian rupa, hingga banyak kaum 'tafakur' dan kaum pengeramat Husain cs akan kehilangan akal nanti sama sekali."
Di akhir suratnya, Sukarno meminta tolong kepada Tuan Hassan untuk mencarikan orang yang mau membeli copy buku terjemahannya itu atau "barangkali Saudara sendiri ada uang buat membelinya. Tolonglah melonggarkan saya punya rumah tangga yang disempitkan korting itu."
Saya percaya, Megawati tentu telah khatam membaca Dibawah Bendera Revolusi Djilid I, dan menunggu pidatonya mengenang persahabatan Bung Karno dengan Ustadz A. Hassan yang luar biasa akrab itu.
Dalam suasana Satu Abad Persatuan Islam, kenangan Megawati terhadap persahabatan ayahandanya dengan Ustsdz A. Hassan, tentu memiliki nilai tersendiri.
NU Keluar dari Masyumi
PADA tanggal 1-2 Dzulhijjah 1364 bertepatan dengan 7-8 November 1945, melaui Kongres Umat Islam, seluruh komponen umat Islam bersepakat mendirikan wadah perjuangan politik kaum Muslimin: Partai Masyumi yang dipimpin oleh Hadratus Syaikh K.H.M. Hasjim Asj'ari sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Partai) dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo sebagai Ketua Pengurus Besar.
Dua pemimpin itu, baik di Majelis Syuro maupun di PB, didampingi oleh tokoh-tokoh dari berbagai ormas Islam seperti AII, Muhammadiyah, NU, PUI, dan SI.
Sayang kebersamaan umat itu tidak berlangsung lama. Pada 1947, SI kembali menjadi partai politik, PSII. Pada 1952, giliran NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai Partai NU.
Mengenai keluarnya NU dari Masyumi, Mr. Jusuf Wibisono dalam biografinya yang ditulis oleh Soebagijo I.N., Jusuf Wibisono Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, 1980, menuturkan bahwa menjelang pembentukan Kabinet Wilopo-Prawoto Mangkusasmito di kalangan PB Masyumi terjadi diskusi hangat mengenai posisi kursi Menteri Agama.
Pendapat yang cukup kuat menghendaki agar kursi Menteri Agama diserahkan kepada tokoh dari Muhammadiyah. Tokoh yang digadang-gadang ialah K.H. Faqih Usman. Alasannya: sudah tiga kabinet berturut-turut (Hatta, Natsir, dan Soekiman) kursi Menteri Agama diberikan kepada tokoh NU, dalam hal ini K.H.A. Wahid Hasjim.
Sudah tentu para pemimpin NU marah dengan perkembangan diskusi itu. Menurut NU, kader Muhammadiyah punya banyak calon untuk duduk di kementerian lain. Di Kabinet Soekiman, misalnya, selain Soekiman sebagai Perdana Menteri ada pula Jusuf Wibisono sebagai Menteri Keuangan. Sedangkan NU hanya punya Menteri Agama Wahid Hasjim.
PB Masyumi akhirnya memutuskan calon Menteri Agama itu dengan pemungutan suara. Soekiman Wirjosandjojo dan Jusuf Wibisono yang mencemaskan akibat dari kemarahan NU, memberikan suara kepada calon yang diajukan NU: K.H. Masjkur. Akan tetapi, hasil akhirnya K.H. Faqih Usman mendapat suara terbanyak.
Sesuai dengan hasil voting tokoh Muhammadiyah diajukan kepada formatur kabinet, dan dilantik menjadi Menteri Agama.
Pada 6 April 1952, NU resmi keluar dari Masyumi. Sejak saat itu hingga sekarang, NU tampil sebagai kekuatan politik dan sosial yang diperhitungkan.
Nasionalisasi De Javasche Bank
SEMENJAK masih sebagai anggota parlemen, Jusuf Wibisono gigih memperjuangkan nasionalisasi De Javasche Bank. Usul itu dia sampaikan juga kepada Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
Menurut Jusuf, tuntutan nasionalisasi itu mengandung pengertian bahwa kedudukan Javasche Bank terhadap Pemerintah memang harus 0jauh berbeda dari sekarang. Bukan lagi direksi De Javasche Bank , melainkan Pemerintah yang akhirnya menentukan monitaire dan financiale politik negara.
Sjafruddin mendukung gagasan menasionalisasi De Javasche Bank, akan tetapi dia berpendapat sebelum tindakan itu dilakukan, harus diadakan persiapan-persiapan lebih dulu untuk mencegah jangan sampai organisasi bank sirkulasi itu dan kepercayaan orang kepada Pemerintah RI menjadi rusak, "dan kita ternyata memutar leher ayam yang bertelur emas."
Jusuf Wibisono menafsirkan pendirian Sjafruddin itu sebagai sikap anti (menolak) nasionalisasi Javasche Bank. Maka, ketika Wibisono menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Soekiman, dan berkesempatan mewujudkan gagasannya menasionalisasi De Javasche Bank yang muncul di kepalanya untuk diusulkan menjadi Gubernur De Javasche Bank ialah Dr. Sumitro Djojohadikusumo dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang sejak awal sudah mendukung gagasan Wibisono.
Gagasan Wibisono gagal dilaksanakan, karena ditolak oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. "Jangan (ajukan Sumitro)! Nanti akan menimbulkan ketegangan dalam Partai Masyumi. Angkat saja Sjafruddin."
Menghormati pendapat Bung Hatta, Wibisono mengangkat Sjafruddin Prawiranegara menjadi Gubernur De Javasche Bank yang terakhir, sekaligus Gubernur Bank Indonesia yang pertama.
Ketika ditanya wartawan, mengapa Wibisono batal mengangkat Sumitro dan mengangkat Sjafrudfin, dia jawab singkat: "Taat kepada keputusan partai." Masyumi memang mengusulkan Sjafruddin.
Wibisono, Ortodox, dan Kemarahan Kiai Wahab
KETIKA Kabinet Soekiman jatuh, Wibisono dipanggil Presiden Sukarno. Dia diminta menjadi Wakil Perdana Menteri pada kabinet berikutnya. Tawaran itu ditolak oleh Wibisono. Menurutnya, jabatan Wakil Perdana Menteri memang tinggi, tetapi tidak punya wewenang apa-apa.
Untuk menghormati Bung Karno, Wibisono menyatakan bersedia menjadi Wakil Perdana Menteri asal merangkap sebagai Menteri Keuangan. Permintaan Wibisono itu tentu saja ditolak, baik oleh Presiden maupun oleh formatur kabinet.
Ketika Kabinet Ali Sastroamudjojo I jatuh, Wakil Presiden Hatta --saat itu Presiden Sukarno sedang menunaikan ibadah haji-- meminta Masyumi menjadi formatur kabinet. Masyumi mengajukan Jusuf Wibisono.
Ternyata Hatta menolak Wibisono. Masyumi kemudian mengajukan tokoh muda, Mr. Boerhanoeddin Harahap yang akhirnya berhasil membentuk kabinet. Kabinet ini pula yang berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertama sesudah 10 tahun Indonesia merdeka.
Sampai terbentuk Kabinet BH, Wibisono menyangka Bung Hatta yang menolaknya menjadi formatur kabinet. Wibisono pun bertanya-tanya, apa gerangan dosanya kepada Hatta?
Belakangan Wibisono mendapat keterangan dari Hatta bahwa yang keberatan Wibisono menjadi formatur kabinet ialah Rais 'Aam NU, K.H.A. Wahab Hasbullah.
Kiai Wahab marah lantaran dalam suatu wawancara dengan Antara, Wibisono menyebut NU itu ortodox. Kiai Wahab menafsirkan ortodox itu kolot.
Wibisono menggunakan kata ortodox dengan rasa aman, karena kata itu biasa digunakan dalam berbagai buku baik dalam maupun luar negeri.
Wibisono kemudian menunjuk buku Abdul Karim Pringgodigdo (1949) yang menerangkan bahwa NU didirikan untuk mempropagandakan Islam berdasarkan faham ortodox. George McTurnan Kahin (1952) menyebut NU sebagai more conservative. Harri J. Benda menyatakan bahwa NU is an ortodox association.
NU Menyokong Calon Masyumi
SEGERA sesudah pemilihan umum 1955 selesai dilaksanakan dan diumumkan hasilnya, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Sesuai dengan hasil pemilu, dibentuklah kabinet sebagai hasil koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) menjadi Perdana Menteri didampingi Mr. Mohamad Roem (Masyumi) sebagai Wakil Perdana Menteri I, dan K.H. Idham Chalid (NU) sebagai Wakil Perdana Menteri II.
Presiden Sukarno tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya melihat kabinet yang disusun oleh Ali Sastroamidjojo. Dengan nada marah Bung Karno berkata: "Saudara sebagai formatur bersikap tidak adil terhadap PKI! Mengapakah suara partai besar yang mendapat suara dari rakyat lebih dari 6 juta itu, tidak kau ikutsertakan dalam baru. Ini tidak adil!"
Dengan tenang Ali Sastroamidjojo menerangkan bahwa tidak mungkin membentuk kabinet koalisi dengan PKI, karena Masyumi dan NU menolaknya. "Apalagi PKI, bahkan orang-orang yang dianggap 'berbau' komunis saja sudah mereka tolak," kata Ali.
Dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, Wibisono diberi amanah menjadi Menteri Keuangan. Di masa inilah jabatan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) habis.
Menjelang berakhirnya masa jabatan Sjafruddin, muncul dua calon Gubernur BI. Masyumi mengajukan Sjafruddin. PNI mengajukan Mr. Lukman Hakim.
Sjafruddin dan Lukman sesungguhnya bersahabat sangat akrab. Mereka telah bersama-sama sejak masa sulit memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), 1949-1950.
Ketika Sjafruddin memimpin PDRI, Lukman Hakim ditunjuk menjadi Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman. Di masa pasca PRRI, sebagian anak Sjafruddin dititipkan di keluarga Mr. Lukman Hakim.
Begitu dekat hubungan kedua tokoh ini, sesungguhnya jika Lukman secara pribadi diminta bersaing dengan Sjafruddin, patut diduga tokoh itu akan menolak. Demikian juga dengan Sjafruddin.
Akan tetapi, karena mereka maju diperintah oleh partai, keduanya tidak mungkin menolak.
Dalam situasi demikian, Wibisono mendapat informasi bahwa NU akan mendukung calon dari PNI. Apakah trauma kursi Menteri Agama masih membekas? Padahal pada Kabinet BH, NU mendapat kursi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pemilihan Gubernur BI, Wibisono gelisah. Namun, sebagai aktivis yang sudah matang dalam organisasi, Wibisono mulai merancang langkah antisipasi.
Langkah pertama, menunda pengumuman pemilihan Gubernur BI. Langkah kedua, meraih kembali simpati Rais 'Aam Kiai Wahab yang pernah marah kepadanya. Untuk langkah kedua ini, Wibisono tidak segan-segan datang menemui Kiai Wahab baik di rumah maupun kantor PBNU.
Sebagai Menteri Keuangan, Wibisono menawarkan bantuan yang halal dan tidak mengikat kepada para pemimpin NU. Kebetulan beberapa di antara mereka, termasuk Kiai Wahab mempunyai perusahaan. Kepada Kiai Wahab, Wibisono menyampaikan bahwa pintu rumah dan kantornya setiap saat terbuka untuk para pemimpin NU.
Ikhtiar Wibisono membuahkan hasil. Pada bulan Desember 1956, tokoh NU, Djamaluddin Malik, menemuinya di kantor Kementerian Keuangan. Kepada Wibisono, ayah penyanyi Camelia Malik itu bertanya mengenai hubungan Wibisono dengan Sjafruddin.
"Apakah bisa bekerja sama?" tanya Djamaluddin seraya menambahkan, "Jika Pak Jusuf bisa bekerja sama dengan Pak Sjaf, maka NU akan menyokong calon Masyumi untuk Gubernur BI."
Dengan mantap Wibisono menjawab pertanyaan Djamaluddin: "Selalu bisa saja terjadi perbedaan faham antara Sjafruddin dengan saya, tetapi itu sama sekali bukan halangan untuk mengadakan kerja sama yang baik."
Dalam rapat-rapat Dewan Moneter, antara Menteri Keuangan Jusuf Wibisono dengan Gubernur BI Sjafruddin Prawiranegara, memang sering terjadi perbedaan pandangan dan perdebatan keras. Rupanya hal ini "dibocorkan" oleh Menteri Perekonomian dan anggota Dewan Moneter Mr. Burhanuddin (NU) kepada koleganya di NU.
Djamaluddin bangkit dari duduknya dan menjabat tangan Wibisono: "Baiklah! NU akan menyokong Pak Sjafruddin."
Wibisono bersyukur, Rais 'Aam NU Kiai Wahab yang pernah menolaknya menjadi formatur kabinet --karena dianggap sebagai orang Masyumi yang tidak baik terhadap NU-- kini bukan saja bersimpati kepadanya, bahkan mendukung calon Gubernur BI, Sjafruddin Prawiranegara, untuk masa jabatan kedua.
Wibisono tidak tahu, apa yang terlintas dalam pikiran menteri-menteri dari PNI ketika mengetahui NU mendukung Sjafruddin.
Cerita Wakil Perdana Menteri Roem
MENGENAI pemilihan Gubernur BI itu, Wakil Perdana Menteri Mohamad Roem bercerita bahwa pada pemilihan yang fair itu, Sjafruddin mendapat suara lebih banyak. "Jadi suara itu tidak mengikuti Perdana Menteri, sebab PNI punya calon sendiri, yaitu Mr. Lukman Hakim."
Menjelang pemilihan Gubernur BI, Roem sedang dirawat di rumah sakit, tetapi untuk pemilihan itu dia minta izin ke dokter untuk bisa menghadiri sidang kabinet yang sangat penting itu. "Tapi sebetulnya andaikata saya tidak datang, sudah cukup suara untuk Sjafruddin. Maka waktu itu Perdana Menteri Ali agak marah." Rupanya Perdana Menteri Ali tidak menduga Sjafruddin akan mendapat suara sebanyak itu.
Tidak syak lagi, Sjafruddin mendapat suara signifikan karena NU dan Masyumi kompak menyokongnya.