Sidebar

Sisi Kelam Pandemi; Putus Sekolah Hingga Pernikahan Dini

Saturday, 06 Feb 2021 07:22 WIB
Siswa-siswi mengumpulkan sampah plastik di program pendidikan anak usia dini Junjung Birru di Palembang, Indonesia pada 20 November 2019.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Chandra Kriftaningtyas sempat kewalahan saat harus mendampingi pembelajaran jarak jauh (PJJ) kedua anak kembarnya yang masih duduk di bangku SD.


Satu bulan pertama sejak diberlakukannya PJJ, Chandra harus benar-benar duduk mendampingi tanpa bisa dia tinggal pergi.

“Karena kalo ditinggal dikit-dikit, ibu ini apa maksudnya? Nah biar bisa jawab kita kan harus mengerti dulu soalnya seperti apa. Jadi kita benar-benar belajar lagi duduk di bangku SD,” ungkap dia.

Padahal di saat yang sama, Chandra juga harus menyelesaikan pekerjaannya.

Chandra adalah seorang ibu sekaligus karyawan di salah satu stasiun televisi swasta. Hampir delapan bulan mendampingi PJJ, masalah adaptasi teknologi seolah tak ada habisnya.

Permasalahan yang sering membuatnya pusing ketika aplikasi zoom mendadak ngadat padahal pembelajaran akan dimulai atau malah error di tengah pembelajaran.

Selain permasalahan teknis menurutnya yang masih mengganggu adalah tidak adanya kejelasan soal kurikulum yang diterapkan.

“Nah ini sampai saat ini hampir 8 bulan jalan tuh tak ada keputusan yang tegas dari pemerintah sih yang sangat disayangkan. apakah bikin kurikulum darurat kah atau ada penurunan standar yang benar-benar semuanya harus diturunkan,” keluh dia.

Sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia Maret tahun lalu, pelaksanaan pembelajaran pun berubah total. Sekolah yang biasanya tatap muka harus dilakukan secara daring.

Demi menyiasati kurang efektifnya pelaksanaan pembelajaran saat pandemi berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah.

Mulai dari penyederhanaan kurikulum, pemberian internet gratis untuk siswa hingga guru, bantuan sarana prasarana, pembuatan modul-modul belajar baik offline maupun online, penguatan platform Learning Management System (LMS), berbagai pelatihan kepada guru, dosen, siswa dan mahasiswa, hingga adanya program kampus mengajar perintis (KMP).

Namun, menurut Unifah Rosyidi, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), permasalahan lebih kompleks justru datang dari daerah yang belum terjangkau internet sehingga harus tetap melakukan pembelajaran tatap muka. Apalagi jumlah ini tergolong besar, sebanyak 40 persen.

Permasalahannya mulai dari jarak jauh yang harus didatangi guru kunjung, bahan ajar yang terbatas atau belum lagi mengatur jadwal kunjung ke setiap anak.

“Jadi dari segi substansi ada masalah, dari segi jarak ada masalah, dari segi pengaturan ada masalah. Sehingga dikatakan tidak efektif. Pasti dari segi capaian modul jadi kurang,” ucap Unifah.

Alhasil kurang efektifnya pembelajaran di tengah pandemi Covid-19 ini berdampak macam-macam, antara lain defisit capaian belajar, putus sekolah sampai ke persoalan pernikahan anak.

Strategi pun diakui Unifah harus segera dilakukan jika pandemi Covid-19 terjadi dalam waktu lama.

“Kurikulum darurat dipastikan, tidak ada anak-anak yang tidak naik kelas, modelnya maju berkelanjutan. Kemudian dalam situasi normal kita analisis defisitnya itu untuk dilakukan recovery,” jelas dia.

Permasalahan demi permasalahan terkait pelaksanaan pembelajaran saat ini pun dijawab oleh Nizam selaku Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.

Menurut dia, skala pendidikan di Indonesia terlampau besar sehingga sulit untuk menjangkau semua jenjang pendidikan.

“Ada 64 juta siswa di 400 ribu sekolah di 34 provinsi, 524 kabupaten kota di 80 ribu desa. Sementara pendidikan dikelola oleh pemda. Tidak semua pemda aktif dan responsif,” ungkap dia.

Agar dampak kurang efektifnya pelaksanaan pembelajaran semasa pandemi Covid-19 ini tidak berlarut-larut, pemerintah pusat pun diminta untuk melakukan komunikasi efektif di setiap jenjang sekolah. Mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga tingkat universitas.

“Perlu ada komunikasi yang efektif. Komunikasi dan kerja sama untuk memastikan bahwa pembelajaran bisa berlangsung,” kata Unifah.

Selain itu, dia juga menambahkan harus adanya penentuan kurikulum, penyediaan bahan ajar tanpa memerlukan sambungan internet serta pelatihan untuk guru-guru.

 

 

Berita terkait

Berita Lainnya