DPR: Perbaiki Pola Komunikasi Publik Soal Vaksin

Pemberian denda dan sanksi hanya akan membuat masyarakat makin tertekan

Antara/Adiwinata Solihin
Seorang warga menangis saat terjaring Operasi Yustisi penegakkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 di Limba U II, Kota Gorontalo, Gorontalo, Jumat (22/1/2021). Tim gabungan Satpol PP, TNI dan Polri terus melakukan Operasi Yustisi untuk mendisiplinkan masyarakat dalam protokol kesehatan khususnya penggunaan masker.
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Hiru Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani mengkritisi pemberlakuan pemberian denda dan sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi covid-19. Netty mengingatkan pemerintah agar memperbaiki pola komunikasi publik sehingga  masyarakat memahami tujuan program,  memiliki kesadaran, dan akhirnya  bersedia  mengikuti vaksinasi secara sukarela. 


"Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman, betapa kelemahan komunikasi publik hanya menimbulkan kebingungan, kepanikan, bahkan civil disobedience, pembangkangan sosial," kata Netty dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (16/2).

Menurut Netty, pemberian denda dan sanksi hanya akan membuat masyarakat makin tertekan dan terbebani di tengah dampak sosial ekonomi pandemi yang menambah jumlah penduduk miskin Indonesia. Ia memaparkan data Badan Pusat Statistik pada September 2020, yang menyebut jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 27,55 juta orang atau setara dengan 10,19 persen. 

"Bagaimana masyarakat tidak abai soal denda vaksin,  jika untuk urusan kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang saja mereka masih kesulitan. Bukankah pemerintah seharusnya memastikan rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya dengan memberikan dukungan,  Jangan sampai aturan denda dan sanksi malah membuat negara makin memiskinkan rakyatnya," tegasnya.

Selain itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menilai terbitnya Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi telah melanggar kesimpulan rapat kerja dengan Komisi IX  pada 14 Januari 2021 (poin 1 huruf g). Dalam kesimpulan rapat kerja Komisi IX dan Kementerian Kesehatan disepakati bahwa pemerintah tidak mengedepankan denda atau pidana dalam program vaksinasi.

Baca juga : IDI Minta Media Ingatkan Perokok Kelompok Rentan Covid-19

"Saya menilai sikap ini menunjukkan ketiadaan itikad baik pemerintah, sebab Tatib DPR RI menyebutkan hasil rapat baik berupa keputusan atau kesimpulan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Bagaimana  rakyat mau ikut aturan, jika pemerintah sendiri melanggarnya," ujarnya.

Netty menambahkan, pendekatan denda dan sanksi atas sesuatu yang bersifat pilihan dapat berpotensi melahirkan  bibit otoritarian. Menurutnya denda atau sanksi atas sesuatu yang ada ruang pilihan, dapat membuat rakyat berpikir pemerintah menggunakan tangan besi.  "Jangan sampai karena tidak sependapat dengan pemerintah, negara mencabut hak fundamental rakyat akan jaminan sosial dan layanan administratif," tutur Netty. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler