13 Negara Eropa yang Muslimnya Diprediksi Jadi Mayoritas
Terdapat sejumlah negara yang diprediksi Muslimnya menjadi mayoritas.
REPUBLIKA.CO.ID, Dinamika populasi Muslim di Eropa menarik banyak peneliti untuk membahasnya. Hal ini karena Eropa mewakili 10 persen dari penduduk dunia dan lima persennya merupakan Muslim.
Ditambah lagi, dengan berbagai konflik yang terjadi di negara Muslim, membuat Eropa menjadi pilihan bagi pengungsi sebagai tempat tujuan. Terbukti, pada 2015 Eropa pernah mengalami krisis pengungsi yang mencapai puncaknya dengan arus masuk pengungsi yang datang, terutama dari negara-negara Muslim melalui Laut Mediterania atau darat melalui Eropa Tenggara.
Sebuah jurnal terbitan Emerald Publishing melakukan survei di 30 negara di Eropa. Hasilnya, sebanyak 13 negara akan menjadi negara mayoritas Muslim di Eropa sedangkan sisanya hingga 200 tahun mendatang diprediksi tidak akan menjadi negara mayoritas Muslim.
Ada banyak faktor yang menyebabkan negara-negara tersebut menjadi mayoritas muslim. Namun, dua faktor terbesar adalah karena tingkat keseburuan wanita Muslim di Eropa lebih tinggi dibandingkan orang Eropa lainnya dan adanya migrasi.
Setiap wanita Muslim di Eropa memiliki satu anak lebih banyak dibandingkan wanita dengan agama atau keyakinan lainnya.
Baca juga : Kronologi Cucu Nabi SAW Husain Diarahkan ke Karbala
Kedua, migrasi penduduk dari negara Muslim terlihat mengalami peningkatan sejak 2017. Skema ini terus berulang setiap tahun dan ini menjadi faktor penyumbang bertambahnya penduduk Muslim di Eropa.
Pengungsi datang terutama dari Suriah, Afghanistan, Irak, dan Eritrea. Secara keseluruhan, 86 persen dari mereka adalah Muslim berdasarkan sepuluh besar asal pengungsi 2010 hingga 2016 (Pew Research Center, 2017). Pengungsi yang datang memiliki dua tujuan utama, yakni mencari suaka dan memperbaiki keadaan ekonomi atau mencari pekerjaan.
Menurut hasil penelitian PSU Research Review ini
Menurut hasil penelitian PSU Research Review ini, 13 negara di mana populasi Muslim akan menjadi mayoritas antara tahun 2085 dan 2215. Negara-negara tersebut di antaranya, Siprus (pada tahun 2085), Swedia (2125), Prancis (2135), Yunani (2135), Belgia (2140), Bulgaria (2140), Italia (2175), Luksemburg (2175), Inggris Raya (2180), Slovenia (2190), Swiss (2195), Irlandia (2200), dan Lituania (2215).
Populasi Muslim yang tumbuh ini tentu akan berdampak pada situasi Eropa, baik dari sisi sosial, politik dan ekonomi. Contoh dari perubahan tersebut akan mencakup semakin banyaknya masjid, azan yang menggunakan pengeras suara, komersialisasi makanan dan produk halal, beban kerja yang kompatibel dan dapat disesuaikan jam kerja dengan batasan Ramadhan, undang-undang baru yang berpihak pada penduduk Muslim, dan meningkatnya campur tangan pemerintah asing dalam keputusan politik Eropa.
Pada awalnya, antipartai politik Islam mungkin mendapatkan dukungan dalam reaksi xenofobia terhadap meningkatnya kontribusi dari populasi Muslim hingga kehidupan masyarakat Eropa sampai populasi mayoritas Muslim. Kemudian, reaksi negatif akan menghilang dan berdampak pada adanya perubahan sosial, politik, dan ekonomi.
Perubahan ini juga berdampak pada pribadi Muslim yang hidup di Eropa. Muslim sangat terikat pada keyakinan mereka dan akar mereka dan biasanya menjaga hubungan dengan negara asalnya jika mereka adalah pendatang.
Secara politis, komunitas Muslim lebih banyak pemilih sayap kiri. Karena partai politik kiri biasanya mendukung integrasi migran Muslim ke masyarakat Eropa.
Secara ekonomi, Muslim berpendidikan lebih rendah daripada non-Muslim, mayoritas dari mereka bekerja di sektor konstruksi dan manufaktur. Namun, generasi kedua atau ketiga dari migran Muslim mungkin memiliki akses ke pendidikan, mendapatkan ijazah, dan memiliki pekerjaan lebih baik di kantor.
Mereka juga bisa terlibat dalam politik. Ada banyak contoh warga Muslim telah berhasil dalam politik di mana mereka menduduki peran politik utama deputi, menteri, atau wali kota kota besar, misalnya, wali kota saat ini di London, Inggris, Sadiq Aman Khan, seorang Muslim asal Pakistan yang mulai menjabat pada tahun 2016 atau Aygul Izkan yang menjabat sebagai Menteri Sosial, Wanita, Keluarga, Kesehatan, dan Integrasi antara 2010 dan 2013, menjadi politisi Turki pertama di Jerman. Dia merupakan keturunan Muslim yang menjadi menteri.
Perubahan tersebut akan membawa periode penyesuaian yang tidak mudah bagi masyarakat Eropa, terutama terkait peradaban Islam yang berbeda dengan Eropa.
Namun, hal tersebut akan bergantung pada tingkat keterbukaan dan toleransi komunitas terhadap satu sama lain dan kesediaan mereka untuk membangun Eropa yang seimbang. Ke depannya Eropa akan memiliki masyarakat yang diperkaya dengan keragaman keyakinan dan budaya.