Ketua Ikadi: Tanpa Izin Saja Miras Sudah Banyak Beredar
IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof KH Achmad Satori Ismail menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang menetapkan Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Bali sebagai wilayah tempat minuman keras (miras) alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka. Menurutnya, miras tanpa diberi izin saja sudah banyak peredarannya, apalagi jika mendapatkan izin peredaran dari pemerintah.
"Kalau ada izin untuk memproduksi miras artinya, izin itu istilahnya membuka keran keburukan-keburukan," kata Kiai Satori, Selasa (2/3).
Ia mengatakan Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan semua agama mengharamkan miras. Segala sesuatu yang memabukkan itu sebenarnya dilarang agama-agama, bahkan agama Islam mengharamkan miras.
"Hemat saya, (Perpres Nomor 10 Tahun 2021) perlu ditinjau kembali kaitannya dengan UU (Pancasila dan UUD) itu," ujarnya.
Kiai Satori mengatakan, memang miras cuma diizinkan di daerah yang mayoritas non Muslim. Tapi dalam rangka menghargai yang Muslim dan orang-orang yang taat beragama dari agama apapun, maka Perpres Nomor 10 Tahun 2021 harus ditarik.
"Karena miras tidak diizinkan saja banyak yang meninggal dunia karena miras, kalau (miras) diizinkan barangkali akan membuka keran yang lebih besar untuk keburukan bagi umat ini," jelasnya.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 2017 silam Gubernur Papua Lukas Enembe mengeluarkan pernyataan. Menurut dia, sebanyak 22 persen kematian di Tanah Papua disebabkan konsumsi miras. Hal itu membuat miras jadi salah satu penyebab terkikisnya populasi penduduk asli Papua selain penyakit-penyakit di daerah tersebut.
Laporan Polda Papua mengiyakan asumsi tersebut. Data yang dilansir pada 2019 menyimpulkan bahwa 1.485 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 277 warga meninggal sebagian besar terjadi didahului konsumsi miras.
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) Papua juga melansir bahwa minuman keras menjadi pemicu utama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di berbagai daerah di Papua.