Bulan Lalu Bilang Surplus, BPJS Kesehatan Kini Akui Defisit
BPJS Kesehatan masih defisit Rp 6,36 triliun untuk kondisi keuangan menyeluruh.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Lida Puspaningtyas
Selang sebulan setelah menyatakan adanya surplus sebesar Rp 18,73 triliun pada 2020, BPJS Kesehatan kini mengakui masih ada defisit Rp 6,36 triliun untuk kondisi keuangan menyeluruh. Hal itu terungkap dalam rapat kerja BPJS Kesehatan dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Rabu (17/3).
"Sekarang aset netto per 31 Desember 2020 dana jaminan sosial kesehatan masih minus Rp 6,36 triliun. Jadi kalau arus kas uangnya yang ada sekitar Rp 18,74 triliun tapi ini belum membayar kewajiban seperti IBNR," kata Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Dalam rapat kerja yang juga dilaksanakan bersama Menteri Kesehatan RI, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Dewan Pengawas (Dewas) BPJS, terperinci bahwa, BPJS Kesehatan memang mengalami surplus Rp 18,74 trilun di arus kas. Namun, masih ada total kewajiban yang harus dibayar.
Kewajiban itu sebesar Rp 25,15 triliun, yang terdiri dari incurred but not reported (IBNR), klaim dalam proses verifikasi atau outstanding claim (OSC), dan utang atau klaim dalam proses bayar. Jika antara saldo kas dan kewajiban dijalankan, maka BPJS Kesehatan masih defisit Rp 6,36 triliun.
"Seharusnya dalam kondisi normal atau aman, harus punya aset neto Rp 13,93 triliun," ujar Ali.
IBNR merupakan klaim yang sudah terjadi, namun belum ditagihkan fasilitas kesehatan. Dengan demikian, aset bersih masih negatif atau defisit Rp6,36 triliun sehingga kondisi keuangan dana jaminan sosial belum "sehat" sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, kondisi keuangan dana jaminan sosial kesehatan bisa dikatakan aman jika memiliki aset yang mencukupi estimasi pembayaran klaim 1,5 bulan ke depan atau sekitar Rp13,93 triliun. Jika ada aset netto sebesar Rp13,93 triliun, maka dana jaminan sosial kesehatan bisa dipersepsikan aman.
Namun, sekarang BPJS Kesehatan masih defisit Rp 6,36 triliun. Terjadi gagal bayar pada 2019 sampai sebesar Rp 15,508 triliun. Pada Januari-Juni 2020 masih terjadi gagal bayar. Tetapi, mulai Juli 2020 dan seterusnya, tidak terjadi gagal bayar.
"Tahun-tahun sebelumnya memang terjadi gagal bayar di BPJS Kesehatan artinya sudah waktunya rumah sakit itu klaim dan sudah beres klaimnya itu kita belum bisa bayar jadi gagal bayar," ujar Ali.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, belanja jaminan kesehatan nasional (JKN) belum selaras dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"RPJMN memberikan arahan ke kita empat dari lima strategi prioritas adalah strategi preventif dan promotif, kalau kita lihat di belanjanya yang terjadi di JKN sekarang 91,3 persen masih kuratif, sehingga promotif preventifnya hanya 4,7 persen," kata Menkes Budi dalam rapat kerja yang sama.
Menkes menuturkan, ada empat dari lima prioritas kesehatan dalam RPJMN tentang upaya promotif dan preventif. Itu berarti seharusnya penggunaan anggaran juga bisa mencerminkan bahwa upaya promotif dan preventif lebih mendominasi daripada upaya kuratif.
Namun, yang terjadi sebaliknya di mana 91,3 persen belanja kesehatan dalam program JKN digunakan untuk mendanai upaya kuratif atau penyembuhan penyakit, sementara upaya promotif dan preventif kesehatan menempati porsi yang sangat kecil.
Lima prioritas dalam RPJMN tersebut adalah peningkatan kesehatan ibu dan anak reproduksi, percepatan perbaikan gizi masyarakat, peningkatan pengendalian penyakit, pembudayaan gerakan masyarakat sehat, dan penguatan sistem kesehatan. Dari total belanja JKN pada 2019 sebesar Rp 112,1 triliun, upaya promotif dan preventif hanya sebesar Rp 5,3 triliun atau 4,7 persen, sementara upaya kuratif mengambil porsi sebesar 91,3 persen atau Rp 102,3 triliun.
Dalam potret belanja JKN 2019, dapat diamati anggaran untuk pengendalian penyakit menular sebesar Rp 54,90 triliun atau sekitar 49 persen, peningkatan kesehatan ibu dan anak sebesar Rp 14,20 triliun atau sekitar 12,68 persen, pengendalian penyakit menular Rp 13 triliun atau sekitar 11,60 persen, serta perbaikan gizi masyarakat Rp 0,06 triliun atau 0,06 persen.
"Semua anggaran dan resources (sumber daya) yang kita keluarkan harus mencerminkan bahwa itu selaras dengan lima prioritas utama yang ada di RPJMN ini, yang empat diantaranya sifatnya lebih promotif dan preventif," tutur Menkes Budi.
Oleh karena itu, belanja JKN ke depan harus dibuat selaras untuk mewujudkan target di RPJMN tersebut. Budi mengatakan perlu dilakukan penyelarasan dan perbaikan dalam penyusunan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) agar lebih banyak pembiayaan kesehatan disesuaikan dengan target RPJMN yang sifatnya lebih kepada upaya promotif dan preventif.
"Perlu kita selaraskan agar semua resources (sumber daya) yang kita keluarkan ratusan triliun itu memang lebih align ke pencapaian bagaimana menurunkan kematian ibu dan anak, bagaimana mengurangi stunting, memperbaiki gizi dan lain sebagainya, sehingga semua biaya yang kita keluarkan akan jauh lebih efektif dan selaras dengan target-target RPJMN yang sudah disetujui bersama," tutur Menkes.
Pada awal bulan lalu, dalam Public Expose BPJS Kesehatan, Senin (8/2), BPJS Kesehatan mengumumkan surplus adanya surplus Rp 18,74 triliun. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris saat itu mengatakan, kinerja positif tersebut karena banyak faktor dan terjadi secara sistemik.
"Kondisi keuangan terus membaik karena pemerintah yang menjamin keberlangsungan program ini, pemerintah tidak ingin adanya kegagalan bayar," katanya Fachmi.
Fachmi berharap kondisi surplus keuangan itu bisa dipertahankan agar program tetap berjalan. Ini juga menjadi modal yang cukup bagi direksi baru yang akan mengambil alih.
Fachmi juga menjelaskan, surplus terjadi karena perbaikan kondisi keuangan. Ini terlihat dari realisasi aset bersih yang membaik meski masih minus Rp 6,36 triliun pada 2020 dari Rp 10,7 triliun pada 2019.
Seharusnya batas minimal aset bersih yakni 1,5 bulan klaim, yakni sebesar Rp 13,93 triliun, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018. Dampak dari membaiknya kondisi keuangan tersebut juga membuat tidak ada klaim gagal bayar.
Kepesertaan juga tercatat meningkat, tercatat pada 2020 bahwa JKN-KIS melindungi 222 juta penduduk. Terdiri dari jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar 132 juta orang dan non-PBI sebesar 89 juta orang.
Hingga saat ini, 508 pemerintah daerah telah mengintegrasikan Jamkesdanya dengan BPJS Kesehatan. Fachmi mengatakan, total penerimaan iuran selama 2016 hingga 2020 sebesar Rp 463,63 triliun, belum termasuk suntikan dana tambahan.
Suntikan dana tambahan dari pemerintah dilakukan pada 2016 sebesar Rp 6,83 triliun, pada 2017 sebesar Rp 3,60 triliun, dan pada 2018 sebesar Rp 10,26 triliun. Penerimaan iuran pada 2020 sendiri mencapai Rp 133,94 triliun.
"Peningkatan kanal pembayaran juga meningkatkan penerimaan, kini sudah ada 694.731 kanal pembayaran BPJS Kesehatan," katanya.
Pertumbuhan fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan juga terus meningkat. Pada 2020 mencapai total 23.043 faskes, atau tumbuh 11,27 persen dari 2016, untuk puskesmas, dokter praktek, klinik pratama. Untuk Rumah Sakit tumbuh 21,23 persen dari 2016 menjadi total 2.507 faskes.
Lebih lanjut, Fachmi melaporkan pembayaran biaya pelayanan kesehatan total sejak 2016 yakni Rp 451,27 triliun. Porsi pembayaran sebesar Rp 73,46 triliun untuk biaya pelayanan kesehatan primer dan Rp 377,82 triliun untuk biaya pelayanan kesehatan rujukan.