Tekan Angka Perceraian, Wapres Dorong Konseling Pra Nikah

Wapres menilai konseling pra nikah penting untuk menekan angka perceraian

Edwin Dwi Putranto/Republika
Wakil Presiden RI KH Maruf Amin. Maruf Amin mendorong bimbingan konseling kepada pasangan yang hendak menikah lebih digalakkan. Ma'ruf, menilai pendidikan dan kesadaran pasangan untuk mempersiapkan diri dalam berumah tangga adalah sangat penting sebelum menikah.
Rep: Fauziah Mursid Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mendorong bimbingan konseling kepada pasangan yang hendak menikah lebih digalakkan. Ma'ruf, menilai  pendidikan dan kesadaran pasangan untuk mempersiapkan diri dalam berumah tangga adalah sangat penting sebelum menikah.


Apalagi, semakin tingginya angka perceraian di Indonesia kata Ma'ruf, membuat konseling pra nikah sangat diperlukan. "Dalam konteks ini perlu digalakkan lagi adanya semacam kelas konseling pra nikah. Konseling pra nikah juga menjadi sangat penting terutama setelah adanya temuan semakin tingginya kasus perceraian," kata Ma'ruf saat menjadi keynote speaker dalam Gerakan Pendewasaan Usia Perkawinan yang digelar secara daring, Kamis (18/3).

Ma'ruf mengungkap data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menyebutkan penyebab perceraian yang paling besar adalah karena faktor tidak harmonis, diikuti karena tidak bertanggung jawab, kemudian karena faktor ekonomi, adanya pihak ketiga, dan seterusnya. Karena itu, bimbingan konseling menjadi penting agar menjadi persiapan matang bagi para pasangan menikah.

Ia mengatakan, dalam konseling perlu diajarkan hal-hal krusial dalam perkawinan. Mulai dari tujuan perkawinan, hak dan kewajiban serta cara untuk saling memahami pasangan masing-masing, seluk-beluk kesehatan reproduksi dan persalinan, kesehatan ibu hamil dan anak, dan sebagainya. 

Bahkan apabila diperlukan, dibuat aturan bagi calon pasangan perkawinan harus lulus kelas konseling pra nikah. Sebab, dari semua kasus perceraian yang masuk di Badilag, terbesarnya merupakan kasus gugat cerai dari pihak perempuan, yaitu sebesar 70 persen.

Data-data ini kata Ma'ruf , menggambarkan pengetahuan yang memadai calon pasangan perkawinan menjadi hal yang sangat mendasar. "Sehingga kebijakan yang diambil untuk meminimalkan kasus perceraian yang begitu tinggi, harus mengarah pada faktor hulu, yaitu kesiapan mental dan pengetahuan calon mempelai untuk membangun sebuah keluarga," kata Ma'ruf.

Karena itu, hal yang paling utama untuk disiapkan sebelum perkawinan ialah kematangan kedua calon mempelai, khususnya kematangan mental terkait dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai suami/istri untuk melaksanakan perkawinan dan hidup bersama membina sebuah keluarga.

Ma'ruf menekankan Kemampuan yang dimaksudkan dalam hadis tersebut juga tidak berarti kesiapan fisik semata, yang seringkali dipahami hanya sebatas kesiapan fisik reproduksi termasuk kehamilan dan persalinan.

"Kemampuan dimaksud janganlah dimaknai secara kuantitatif semata, tetapi harus dimaknai secara kualitatif. Artinya, kemampuan di sini harus dimaknai dengan adanya kematangan individu secara fisik dan mental," kata Ma'ruf.

Untuk itu, ia mendukung adanya gerakan pendewasaan usia perkawinan  untuk memberikan advokasi kepada masyarakat. Ia mengatakan usia perkawinan jangan hanya dilihat dari sisi "boleh"nya saja, tetapi yang paling penting adalah mengedepankan tujuan perkawinan yang harus memberikan maslahat.

Hal ini untuk mencegah dampak negatif dari ancaman kesehatan reproduksi, keselamatan persalinan, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak mengalami stunting akibat tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya, atau anak-anak yang tidak cukup pendidikan. 

Terlebih dalam perkawinan, seringkali yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. "Karena itu peran pendidikan menjadi kunci untuk membangun kemampuan dan kematangan individu," kata Ma'ruf.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler