Nasib Pengungsi Suriah yang Terjebak di Turki
IHRAM.CO.ID, ANKARA -- Gaziantep, di Turki selatan adalah rumah bagi setengah juta pengungsi Suriah. Banyak di antara mereka berharap bisa menuju Eropa tapi memutuskan akhirnya melanjutkan hidup di Turki dan belajar bahasa Turki.
Gaziantep's Irani Bazaar adalah tempat para pembuat roti. Sebelum matahari terbit, mereka akan membuat roti pipih Syria untuk para pelanggannya. Aroma wijen dan roti tidak beragi yang segar, memenuhi lingkungan di kota Anatolia pada saat pedagang lain mulai tiba dan membuka toko-toko mereka.
Roti tradisional Suriah biasa dinikmati untuk menu sarapan dan paling cocok disandingkan dengan mencelupkan ke dalam za'atar dan minyak zaitun, atau disajikan bersama kacang, falafel, fatteh dan hummus. Toko-toko lainnya di sepanjang jalan menjajakan aneka macam kopi, seperi nescafe dan kopi arab yang kental.
Terlepas dari namanya, bazaar Irani bukanlah tempat sekumpulan orang Iran melainkan jantung komunitas kota Suriah. Jalanan telah berubah dalam banyak hal.
"Awalnya kami memilih bazar Irani dan lingkungan sekitar, karena harga sewanya murah. Sebagian besar pemilik toko sekarang adalah warga Suriah. Itu adalah pusat utama bagi kami,” kata Alaa al-Dein Shasho (52) yang baru-baru ini meninggalkan toko kelontongnya di jalan untuk memulai bisnis AC seperti yang dia lakukan di rumah di Aleppo.
"Ayam, kacang-kacangan, sayuran, rempah-rempah kami, semuanya berasal dari pasar Irani,” kata Lubna Helli, pemilik restoran Lazord, tidak jauh dari situ.
Ketika warga Suriah melarikan diri dari negara mereka yang terus menerus perang selama 10 tahun, membuat Eropa menjadi negara krisis pengungsi. Sekitar satu juta orang Suriah telah menetap di Eropa, sebagian besar di Jerman, Swedia, Austria, dan Belanda.
Pada 2016, Uni Eropa mencapai kesepakatan dengan Turki, dengan imbalan bantuan 6 miliar euro, Ankara setuju untuk menghentikan pengungsi dan migran yang melakukan penyeberangan mematikan di Mediterania dan perjalanan panjang melalui Eropa timur. Warga Suriah dan lainnya yang berhasil melintasi laut ke Yunani sejak kesepakatan itu sekarang sebagian besar ditahan di kamp-kamp.
Akibatnya, Turki menjadi negara tuan rumah pengungsi terbesar di dunia, dengan 3,7 juta warga Suriah yang terdaftar, dan populasi yang terus bertambah, sekitar 500 ribu anak Suriah telah lahir di Turki sejak krisis dimulai.
Gaziantep adalah pusat dari realitas baru bagi warga Suriah dan Turki. Kota ini menampung sekitar setengah juta warga Suriah. Begitu juga dengan Istanbul memiliki jumlah pengungsi yang sama, pendatang baru di sana telah diserap ke dalam kota metropolitan yang sudah menampung 17 juta orang, dibandingkan dengan populasi sebelum perang Gaziantep yang berjumlah 1,5 juta.
Hidup masih jauh dari mudah bagi warga Suriah di Turki, tetapi lebih baik daripada Yordania atau Lebanon, di mana sebagian besar pengungsi tidak diberi hak untuk bekerja atau berintegrasi ke dalam masyarakat, dan ratusan ribu masih tinggal di kamp-kamp.