Masa Depan MBS Usai Laporan Kematian Khashoggi

Bagaimana masa depan politik Mohammed bin Salman dengan kebijakan baru Joe Biden?

Foto : MgRol112
Ilustrasi Muhammad bin Salman
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Dr Necmettin Acar, Kepala Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Fakultas Ekonomi dan Ilmu Administrasi Universitas Mardin Artuklu

Baca Juga


Pada 26 Februari 2021, Pemerintahan Joe Biden akhirnya merilis laporan terbunuhnya Jamal Khashoggi, yang sudah disiapkan badan intelijen AS sejak dua tahun lalu. 

Dalam laporan tersebut dengan jelas ditekankan bahwa Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) telah memberikan persetujuannya atas operasi yang dilakukan untuk menangkap atau membunuh Khashoggi.

Laporan itu menyebutkan untuk menjalankan operasi semacam itu tanpa persetujuan bin Salman adalah tidak mungkin. Persetujuan MBS sebagai penguasa Kerajaan Saudi de facto sangat penting.

MBS memiliki kekuatan absolut atas unit keamanan dan intelijen Saudi. Apalagi, sebagian besar nama yang menjadi sasaran sanksi AS tersebut adalah bagian dari unit perlindungan pribadi Mohammed bin Salman.

Kami dapat menafsirkan temuan laporan intelijen AS itu sebagai "menyatakan yang sudah jelas" karena laporan tersebut jauh dari mengemukakan argumen baru mengenai peran Mohammed bin Salman dalam pembunuhan Khashoggi. 

Namun, pengecualian Mohammed bin Salman dari daftar sanksi AS agak berbeda dengan pernyataan pemerintahan Biden bahwa Putra Mahkota akan membayar kejahatan yang dilakukannya. Ternyata, tak ada sanksi buat MBS.

Meskipun komentar seperti "Mohammed bin Salman tidak akan berperan di masa depan Arab Saudi" dan "Putra Mahkota telah mencapai akhir karir politiknya" dibuat setelah penerbitan laporan, namun sikap AS malah berbeda.

AS menyatakan tentang pentingnya hubungan mereka dengan Arab Saudi, dan yang paling penting, nama Putra Mahkota yang tidak ada dalam daftar sanksi, memberi tahu bahwa pemerintahan Biden sedang mencari jalan tengah.

Ketidakcocokan di Antara Elite Arab Saudi

Dinamika politik Arab Saudi saat ini tak lepas dari langkah penting dan sepihak Raja Salman yang memberikan takhta pada 2015. Raja Salman mengubah sistem suksesi kerajaan secara radikal untuk menjadikan putranya Mohammed bin Salman sebagai Raja Saudi berikutnya.

Langkah ini memainkan peran penting dalam dinamika politik Saudi saat ini. Dengan keputusan kerajaan yang dikeluarkan setelah 2015, Mohammed bin Salman secara langsung menguasai lembaga-lembaga penting seperti Kementerian Pertahanan, Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan, dan Pengadilan Kerajaan. 

Pengaruh Putra Mahkota atas sistem politik Saudi terus tumbuh setelah penetapan itu, dan pada 2017, semua institusi penting, industri minyak, manajemen ekonomi, urusan dalam negeri, urusan luar negeri dan terutama sektor keamanan, berada di bawah kendali MBS langsung maupun tidak langsung. 

Dan, seperti yang dinyatakan dalam laporan tersebut, pada akhir 2018, ketika pembunuhan Khashoggi dilakukan, Mohammed bin Salman telah memastikan kendali atas semua institusi penting di Arab Saudi dan, dalam praktiknya, menjadi penguasa negara.

Mudah dipahami jika karier politik yang melonjak dari Mohammed bin Salman menyebabkan ketidakpuasan mendalam di antara berbagai kelompok di internalal Kerajaan Saudi seperti House of Saud (keluarga kerajaan), Dewan Ulama Senior, suku-suku yang kuat, dan komunitas bisnis. 

Memang, sistem politik Arab Saudi bersifat monarki absolut di mana suara Raja sangat penting dalam segala hal. Namun, berdasarkan mekanisme informal di mana keputusan kritis dan terutama menyangkut masalah vital mengenai keamanan dan politik negara, dibuat dengan konsultasi dan konsensus yang lebih luas terlebih dahulu. 

 

Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa naiknya Muhammad bin Salman yang tak terhentikan akan meminggirkan kekuatan pusat yang relatif independen (seperti keluarga kerajaan, Ulama, suku yang kuat dan komunitas bisnis) dari kehidupan politik negara. 

Kami dapat mengatakan bahwa pengecualian ini menyebabkan "ketidakcocokan di antara para elite" di negara tersebut.

Dengan tak terbendungnya kekuasaan Mohammed bin Salman menyebabkan distribusi kekuasaan yang secara tradisional seimbang di dalam House of Saud kini terganggu. 

Selama proses ini, putra pendiri Kerajaan Saudi Raja Abdulaziz -Muqrin dan Ahmed- serta pangeran penting seperti Mohammed bin Nayef, Al Waleed bin Talal, dan Mutaib bin Abdullah diberhentikan dari jabatan mereka, ditangkap, dan aset mereka disita.

Tradisi menempatkan sektor keamanan di bawah pengawasan pangeran yang bersaing daripada pangeran tunggal adalah formula paling efektif yang digunakan untuk menyeimbangkan distribusi kekuasaan di antara anggota keluarga kerajaan. 

Karena alasan ini, sektor keamanan Saudi telah dibagi menjadi tiga departemen selama lebih dari setengah abad; Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pengawal Nasional, dan Kementerian Pertahanan. Badan-badan ini ditempatkan di bawah pengawasan keluarga yang bersaing; Nayef, Abdullah, dan Sultan.

Secara tradisi, seorang anggota keluarga kerajaan senior diangkat sebagai kepala Direktorat Intelijen Umum, di samping badan-badan ini. Kronologinya, Turki bin Faisal, Nawwaf bin Abdulaziz dan Muqrin bin Abdulaziz ditunjuk pimpin direktorat ini sejak tahun 1970-an. Anggota keluarga kerajaan tingkat tinggi telah dikeluarkan dari lembaga-lembaga ini pada akhir 2017, dan semua lembaga dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan Mohammed bin Salman, beberapa di antaranya bahkan bukan anggota keluarga kerajaan. Tokoh serupa ditunjuk untuk instansi seperti Kementerian Energi, Kementerian Luar Negeri dan Aramco.

Kebijakan sentralisasi Mohammed bin Salman tidak terbatas pada memaksa keluarga kerajaan keluar dari sistem. Dalam proses ini, pengucilan mitra terbesar rezim Saudi, Ulama, juga dimulai dengan kebijakan seperti "Islam Moderat" dan "reformasi hukum"; karena tidak ada tempat bagi Ulama, benteng penafsiran Islam puritan, dalam visi Muhammad bin Salman untuk masa depan negaranya. 

Putra Mahkota membangun hubungan antara prevalensi penafsiran Islam puritan di negara itu dan penyitaan Masjidil Haram yang dipimpin oleh Juhayman al-Otaybi pada 1979. Secara terbuka menyatakan bahwa MBS ingin mengembalikan negara itu ke "pengaturan modernisasi" dengan mengecualikan Ulama dari sistem dan beralih ke "Islam Moderat." 

Untuk keberhasilan kebijakan ini, reformasi diperkenalkan di bidang-bidang yang secara tradisional dianggap sebagai wilayah ulama, seperti hiburan, media, pendidikan, dan hukum.

Target Putra Mahkota berikutnya adalah menjadikan para pengusaha Saudi sebagai pusat kekuasaan independen dengan menghasilkan uang dari investasi besar-besaran di infrastruktur, juga dari pendapatan minyak, yang terus melonjak selama bertahun-tahun. 

Sebagai bagian dari "perang melawan korupsi", lebih dari 300 pengusaha paling berpengaruh di negara itu dipenjarakan selama berbulan-bulan di hotel Ritz-Carlton, diinterogasi, dan aset mereka disita sampai batas tertentu. Dengan demikian, komunitas bisnis Saudi juga diredam dan pengaruhnya terhadap komando Kerajaan berkurang.

Saat ini, keluarga kerajaan, Ulama, pengusaha, dan suku-suku berkuasa yang mewakili basis kekuatan tradisional rezim Saudi di Riyadh telah dipaksa keluar dari sistem karena agenda reformasi politik Mohammed bin Salman. Mereka jelas sangat tidak puas dengan situasi ini. 

Akibatnya, Mohammed bin Salman tampaknya tidak memiliki pendukung yang banyak di Riyadh selain ayah dan beberapa saudara kandungnya, kecuali pemuda Saudi yang merupakan dua pertiga dari populasi negara itu. Ini membuat Putra Mahkota muda, yang memiliki visi untuk negaranya dan bercita-cita menjadi Raja Arab Saudi, semakin bergantung pada dukungan internasional.

 

Dengan Presiden Joe Biden mengumumkan laporan tentang Khashoggi --yang selama ini telah lama disembunyikan Donald Trump-- legitimasi internasional atas Mohammed bin Salman mengalami pukulan luar biasa dan jatuh pada level sangat kritis. 

Peran Mohammed bin Salman dalam pembunuhan Khashoggi yang diakui di semua tingkatan secara signifikan telah merusak reputasi negara Arab Saudi di dunia Barat, yang telah menjalin hubungan baik dengan negara tersebut selama bertahun-tahun. 

Seorang pangeran yang diharapkan menjadi penguasa negara berikutnya yang tidak memiliki sekutu tersisa di pemerintahan, kawan di Senat atau Kongres AS, yang menjadi penjamin keamanan rezim di negara itu terutama sejak Perang Dunia Kedua, akan menimbulkan masalah serius bagi karier politik Mohammed bin Salman. 

Selain itu, pengumuman laporan ini bertepatan dengan periode di mana Mohammed bin Salman hampir naik tahta Kerajaan Saudi karena kekuatan politiknya yang tumbuh di negara itu dan usia tua ayahnya.

Selain semua ini, Joe Biden dan timnya yang menjabat di AS saat ini memiliki hubungan baik dengan Mohammed bin Nayef, sepupu Mohammed bin Salman sekaligus saingannya yang paling signifikan, adalah faktor lain yang memicu kecemasan di Riyadh. 

Hal ini dikarenakan Mohammad bin Nayef adalah sosok yang melakukan operasi kontra terorisme di kawasan tersebut, utamanya di Yaman, bersama dengan dinas keamanan AS setelah tahun 2000, terutama pada masa pemerintahan Obama, dan mengembangkan hubungan baik dengan banyak pejabat senior AS pada saat itu. 

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken hanyalah salah satu tokoh AS yang pernah bekerja sama dengan Nayef selama operasi ini. Selain itu, keberhasilannya dalam operasi kontra-terorisme ini membuat reputasi Mohammed bin Nayef bagus di mata Amerika Serikat.

Sudah pasti bahwa tesis yang dikemukakan laporan Khashoggi secara signifikan telah merusak legitimasi Mohammed bin Salman di arena internasional. Sementara leghitimasi MBS juga sudah melemah di dalam negeri karena ketidakcocokan di antara elite negara dalam lima tahun terakhir. 

Namun, Mohammed bin Salman tidak dimasukkan dalam daftar sanksi --meskipun laporan dengan jelas menyatakan bahwa peran yang dia mainkan dalam pembunuhan tidak perlu dipertanyakan lagi-- menunjukkan pemerintahan Joe Biden tidak suka Mohammed bin Salman diberhentikan dari jabatannya, meskipun tentunya AS lebih suka bekerja sama dengan Mohammed bin Nayef sebagai gantinya.

Meskipun berbagai opini muncul kemudian bahwa Mohammed bin Salman akan mendekati akhir karier politiknya ketika laporan Khashoggi diterbitkan, namun visi yang dikemukakan laporan tersebut jauh dari mendukung klaim ini. 

Terlepas dari harapan bahwa pemerintahan Biden akan menekankan nilai-nilai normatif daripada politik luar negeri realis kasar Trump, AS dapat dikatakan telah mengikuti jalur realis selama proses ini juga. 

 

Laporan ini mengungkapkan bahwa ancaman sebenarnya bagi AS di wilayah tersebut bukanlah Putra Mahkota Saudi yang memerintahkan seorang jurnalis untuk dibunuh secara brutal, tetapi desakan Arab Saudi pada kebijakan ambisius dan penuh petualangan yang melebihi kapasitas militer/industrinya. 

Mempertimbangkan visi yang dikemukakan oleh laporan Khashoggi dan pengumuman baru-baru ini untuk mengakhiri dukungan terhadap perang yang dipimpin Saudi di Yaman, kita dapat berargumen bahwa AS khawatir bahwa desakan Arab Saudi untuk mengikuti kebijakan yang terlalu ambisius dan penuh petualangan dapat menyebabkan keruntuhan rezim Saudi.

Kemerosotan dan keruntuhan rezim di Riyadh pada akhirnya dapat meroketkan biaya politik luar negeri AS, yang harus dijaga agar AS yang ingin fokus pada China, dan dapat terus melindungi kepentingannya di kawasan seperti keamanan Israel dan sumber energinya. 

Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa Biden mengambil pendekatan realis dan mencoba mengarahkan rezim Saudi ke dalam pandangan politik yang sebanding dengan kekuatannya.

Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Biden lebih mementingkan nilai-nilai normatif seperti hak asasi manusia dan demokrasi dalam politik luar negerinya daripada yang dilakukan Trump. Namun, keliru jika mengharapkan Biden mendasarkan keseluruhan politik luar negerinya pada nilai-nilai normatif. 

Laporan Khashoggi, yang dipadatkan menjadi dua halaman jika tidak menghitung halaman sampul dan bagian ringkasan dan kadang-kadang menggunakan ekspresi ambigu, tampaknya menjadi petunjuk pertama bahwa wacana yang memprioritaskan nilai-nilai normatif akan digunakan Joe Biden, dan ini sifatnya pragmatis bagi kepentingan kebijakan luar negeri AS. 

Dalam keadaan saat ini, Riyadh dapat diharapkan dalam jangka pendek untuk mundur dari perang Yaman, mundur dari pelanggaran hak asasi manusia tertentu, menerapkan reformasi parsial yang bertujuan untuk mendapatkan persetujuan publik internasional, dan membebaskan pangeran yang dipenjara seperti Ahmed bin Abdulaziz dan Mohammed bin Nayef. Jadi, bukannya Amerika mendesak untuk pergantian putra mahkota. 

Namun, dipastikan bahwa Riyadh akan menghindari kebijakan ambisius dan penuh petualangan yang melebihi kapasitas militer dan industrinya sendiri dan meningkatkan biaya politik luar negeri AS, seperti dalam perang Yaman, untuk waktu yang lama. Secara khusus, AS akan dengan tegas menentang Riyadh menyusul kebijakan yang mengarah pada konflik militer langsung dengan Iran.  

Pernyataan Obama bahwa: "... mereka perlu menemukan cara efektif untuk hidup bertetangga dengan baik...", merupakan pernyataan paling eksplisit yang dibuat mengenai pandangan AS tentang arsitektur keamanan regional baru-baru ini. Pernyataan Obnama ini dapat memberikan wawasan tentang arah kebijakan AS di bawah Joe Biden di Timur Tengah termasuk kepada Arab Saudi yang memiliki ambisi politik tinggi namun tidak diimbangi dengan kekuatan militer dan ekonominya.

 

Sumber Asli: https://www.aa.com.tr/en/analysis/analysis-saudi-crown-prince-s-political-future-following-khashoggi-report/2189809

sumber : Anadolu
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler