Mewaspadai Potensi Gempa dan Tsunami di Malang 

BMKG belum menemukan sesar aktif di Malang meski wilayah ini acap mengalami gempa. 

ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Gunung Semeru mengeluarkan lava pijar. Warga diiimbau agar waspada akan potensi bencana yang ditimbulkan.
Rep: Wilda Fizriyani Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Malang dikenal sebagai daerah dengan keindahan alamnya, baik gunung maupun pantai. Namun di balik itu, Kabupaten Malang ternyata termasuk wilayah rawan bencana gempa dan tsunami.


Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Malang, Ma’muri menjelaskan, setidaknya ada tiga penyebab gempa bumi di Jatim. Pertama, gempa yang bersumber pada subduksi lempeng Indo-australia dan Eurasia di wilayah Selatan Jawa. 

"Ada juga sumber-sumber sesar aktif yang menyebabkan gempa bumi," kata Ma'muri dalam kegiatan diskusi daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Penyebab gempa bumi ketiga di Jatim berasal dari luar subduksi lempeng. Dalam hal ini gempa bumi yang disebabkan letusan gunung berapi. Jatim memiliki banyak gunung berapi yang beberapa di antaranya seperti Semeru, Ijen, Bromo dan sebagainya.

Selain subduksi lempeng, Jatim ternyata memiliki sesar darat yang cukup aktif. Sesar ini dapat menimbulkan gempa di daratan. Meski kekuatannya kecil dan berada di kedalaman dangkal, efek kerusakan gempa ini lebih besar dibandingkan gempa subduksi.

Sejauh ini, BMKG belum menemukan sesar aktif di Malang meski wilayah ini acap mengalami gempa. "Ada banyak sesar yang belum teridentifikasi karena sesar itu cukup banyak sehingga perlu kajian khusus untuk penandaan atau pemberian namanya," jelasnya.

Namun untuk wilayah Jatim, BMKG menemukan tujuh sesar aktif dan enam segmen sesar Kendeng. Yakni, sesar naik Pati, sesar Kendeng (segmen Demak, Purwodadi, Cepu, Blumbang, Surabaya dan Waru) dan sesar Pasuruan. Kemudian sesar Probolinggo, sesar Wongsorejo, zona sesar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala) dan sesar Bawean Fault. 

 

Gempa berkekuatan 5,2 Skala Richter (SR) menggucang Malang sekitar pukul 13:09:23 WIB, Rabu (8/8). (Ilustrasi) - (Dok. BMKG Kabupaten Malang)

 

 

 

Jika ditilik dari sejarah, Jatim termasuk daerah yang memiliki gempa darat cukup banyak. Sementara di Malang pernah terjadi pada 1958 dan 19 Februari 1967 dengan kekuatan gempa sebesar 6,2 SR. Namun sumber gempa ini belum termasuk sebagai sesar lokal wilayah Malang.

Adapun aktivitas kegempaan selama dua bulan terakhir di Jatim, Ma'muri mengungkapkan, jumlahnya cukup meningkat. Situasi ini mendorong BMKG untuk membuat beberapa langkah yang perlu ditingkatkan. 

"Kita sudah beberapa kali survei terutama di Pacitan, Pantai Banyuwangi untuk melihat perkiraan gelombang dan bagaimana jalur evakuasi," ujarnya.

Selanjutnya, Jatim juga tercatat pernah beberapa kali mengalami gempa yang menyebabkan tsunami. Yakni, tsunami pada 1840, 1843, 1859 dengan catatan gelombang cukup besar. "Terakhir kita ingat 1994 itu tsunami di Banyuwangi bedampak sampai ke Malang Selatan," ucap dia.

Namun dalam kajian BMKG, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki potensi sama. Setidaknya terdapat 127 kabupaten/kota di Indonesia berpotensi tinggi mengalami tsunami dengan ketinggian gelombang di atas lima meter. Potensi ini hampir terjadi di Jatim terutama wilayah selatan.

Ma'muri memastikan kajian ini sifatnya informatif agar nantinya bisa menciptakan mitigasi bencana di masyarakat. "Artinya ini bukan menghantui atau menakuti masyarakat. Faktanya ini kemungkinan potensinya ada. Dengan adanya potensi ini, manusia harus menyiapkan mitigasinya," ungkap Ma'muri.

 

Pentingnya mitigasi bencana

Pelaksana Tugas (Plt) Kabid Kedaruratan dan Logistik, BPBD Kabupaten Malang, Sadono menyatakan, pihaknya telah berupaya menerapkan menerapkan manajemen bencana. Dalam hal ini termasuk bencana gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Malang. Kegiatan manajemen bencana sendiri dimulai dari prabencana, saat bencana sampai pascabencana.

Sadono mengaku, telah banyak kegiatan telah dilaksanakan BPBD Kabupaten Malang. Satu di antaranya dengan membuat peta rawan bencana per ancaman. Hal ini berarti termasuk ancaman gempa bumi, banjir, tsunami dan sebagainya.

Ada pula program kesiapsiagaan dengan membentuk desa tangguh bencana. Pembentukan desa ini lebih diprioritaskan untuk desa yang memiliki kerawanan tinggi. Terutama dalam potensi gempa dan tsunami.

Untuk kegiatan pencegahan, BPBD sudah membuat kegiatan mitigasi struktural berupa fisik. Kemudian juga mitigasi nonstruktural dalam bentuk produk, dokumen dan lain-lain. "Kami dari 2020 kalau bicara gempa dan tsunami bersama pada 2020 sudah berhasil membuat rencana kontijensi gempa. Kalau memungkinkan tahun ini akan membuat rencana kontijensi gempa dan tsunami," katanya.

Lebih detail, Sadono mengungkapkan, BPBD setiap tahun selalu memasang 100 titik rambu evakuasi di sepanjang pesisir pantai Malang Selatan. Jumlah ini masih terbilang kecil dibandingkan luas panjang pantai apalagi dengan terbukanya jalur lingkar selatan. Kondisi ini menyebabkan semakin banyak pantai selatan terbuka, baik untuk wisata dan sebagainya.  

 

Selain itu, BPBD Kabupaten Malang juga telah memasang alat peringatan dini di beberapa lokasi. Beberapa di antaranya di Desa Tambakrejo dan Pantai Balekambang pada tahun lalu. Namun alat di Balekambang ternyata tidak bisa bertahan lama karena tidak tahan cuaca sehingga menimbulkan korosi.

"Jadi daripada keluarkan ratusan juta, lebih baik kita meningkatkan kapasitas masyarakat salah satunya kampung tangguh bencana. Sering juga gladi lapangan terhadap ancaman di pesisir pantai," kata dia.

Hal yang pasti, Sadono menegaskan, penanggulangan bencana tidak hanya urusan pemerintah tapi bersama-sama. Setidaknya ada empat pilar yang memiliki tanggung jawab serupa dalam hal ini. Yakni, pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan media sebagai penyebar informasi kebencanaan.

Sementara itu, Ahli Geologi Merdeka, Andang Bachtiar merekomendasikan pemerintah untuk turut melibatkan pecinta dalam dalam mitigasi bencana. Pemerintah misalnya dapat mengajak mereka survei bersama di sepanjang pesisir pantai selatan. Mereka bisa diminta untuk mencatat tempat-tempat yang pernah diterpa tsunami dan rambu-rambu yang rawan bencana. 

 

Dengan melibatkan pecinta alam, biaya mitigasi yang dikeluarkan pemerintah lebih ringan. Sebab, dia yakin kalangan tersebut akan secara sukarela mau turun langsung untuk membantu. Apalagi informasi-informasi yang diperoleh para pecinta alam bisa dibagikan di media sosial yang dinilai lebih dekat dengan masyarakat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler