Pandangan Ulama Soal Keharusan Minta Maaf Sebelum Ramadhan

Banyak masyarakat yang terpengaruh informasi yang tidak akurat.

Pixabay
Pandangan Ulama Soal Keharusan Minta Maaf Sebelum Ramadhan. Ilustrasi Ramadhan
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Jeje Zaenudin menjelaskan, jika merujuk pada Alquran dan hadits, tidak ada keterangan shahih yang menerangkan keharusan untuk saling meminta maaf saat memasuki bulan suci Ramadhan.

Baca Juga


“Sejauh yang kita baca dari Alquran dan hadits, tidak keterangan yang sahih tentang keharusan saling meminta maaf karena mau memasuki bulan puasa,” kata Dosen STID Muhammad Natsir Dewan Dakwah Islamiyah itu.

Adapun tren maaf-memaafkan melalui pesan singkat hingga unggahan di sosial media saat menjelang Ramadhan, kata Ustadz Jeje, disebabkan informasi yang kurang akurat tentang hadits nabi yang berkenaan dengan hal tersebut. 

Diantara penyebabnya adalah tersiar informasi yang tidak akurat tentang  hadits Nabi. Konon bahwa ketika Nabi Muhammad naik mimbar tiba-tiba beliau berkata amin tiga kali. 

Ketika ditanya para sahabat, Nabi menjawab bahwa beliau mengaminkan Malaikat Jibril. Doa Malaikat Jibril itu adalah, "Ya Allah tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut, tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada), tak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri, dan tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya." 

“Namun faktanya, hadits di atas tidak memiliki perawi yang jelas,” katanya.

Baca juga : Setan Dibelenggu Saat Ramadhan, Mengapa Maksiat Masih Marak?

 

Menurut ustadz Jeje, yang tercatat dalam kitab-kitab hadits yang bisa dipertanggungjawabkan, redaksinya tidak ada yang seperti itu. Melainkan doa Jibril itu berbunyi, “Merugilah orang yang datang kepadanya bulan Ramadhan, kemudian Ramadhan berakhir tetapi dosanya tidak diampuni. Rugilah orang yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup tetapi tidak menghantarkan ia masuk sorga, dan rugilah orang yang disebut nama Nabi Muhammad tapi ia tidak bersolawat kepadanya.”

“Jadi konteksnya adalah kerugian orang yang mendapatkan peluang besar dengan keutamaan pahala amal saleh, termasuk bulan Ramadhan ini, tetapi ia sia-siakan tidak beramal,” katanya.

Hal ini menegaskan masih banyak masyarakat yang terpengaruh dengan informasi yang tidak akurat tanpa memvalidasinya terlebih dulu. Menurutnya, masalah meminta maaf tidak terkait dengan ibadah puasa saja, tetapi terkait dengan seluruh ibadah, termasuk sholat, sedekah, zakat, umroh dan haji, semuanya amalan saleh membutuhkan kebersihan diri dari dosa kepada sesama  manusia, terlebih kepada orang tua, atau kepada pasangan dan anak.

Permintaan maaf juga bukan masalah sebatas ucapan lisan. Tetapi pencegahan diri dari berbuat salah dan menzalimi hak orang lain. Menzalimi hak-hak orang lain tidak cukup hanya minta maaf. tetapi mengganti hak orang lain yang dizalimi itu.

 

“Jika manusia banyak amal sholatnya, zakatnya, puasanya, tetapi banyak juga kezalimannya kepada orang lain, maka bisa jadi pahala amal salehnya di akhirat kelak habis dan defisit dipakai menebus dosa dan kezalimannya pada orang lain,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler