Hardiknas Kedua Pandemi, KPAI: Terobosan PJJ Belum Efektif

PJJ di Indonesia terlalu bertumpu pada internet.

diskominfo Indramayu
Tak punya handphone untuk kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ), siswi SMP Negeri 1 Gabuswetan, Kabupaten indramayu ini dipinjami handphone oleh gurunya. KPAI menilai setahun pandemi, PJJ masih belum diperbaiki hingga lebih efektif.
Rep: Inas Widyanuratikah Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia akan segera menyambut Hari Pendidikan Nasional kedua selama masa pandemi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama dua kali Hardiknas ini pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih terus menuai masalah.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, pemerintah memang sudah melakukan sejumlah terobosan terkait PJJ. Di antaranya adalah kebijakan panduan PJJ, kebijakan bantuan kuota internet, kebijakan kurikulum khusus dalam situasi darurat, dan kebijakan standar penilaian di masa pandemi.

Namun, Retno menilai terobosan-terobosan tersebut belum efektif memperbaiki PJJ di Indonesia. Setidaknya, terdapat lima hal yang dikritisi KPAI terkait kebijakan-kebijakan pendidikan berkaitan dengan PJJ.

Masalah pertama yakni, PJJ terlalu bertumpu pada internet. Hal ini berakibat sejumlah kendala pembelajaran daring karena keragaman kondisi keluarga peserta didik, keragaman kondisi daerah, dan kesenjangan digital yang begitu lebar antardaerah di INdonesia.

"Mulai dari Jawa vs luar Jawa, sampai daerah perkotaan vs pedesaan. Anak-anak dari keluarga kaya cenderung terlayani PJJ secara daring, namun anak-anak dari keluarga miskin kurang terlayani bahkan banyak yang sama sekali tidak terlayani, hal ini berdampak kemudian dengan angka putus sekolah," kata Retno, Sabtu (1/5).

Ia melanjutkan, hal lainnya yang menyebabkan PJJ belum efektif adalah tidak pernah ada pemetaan kesenjangan kemampuan digital dan ekonomi antara anak-anak dengan latar belakang yang berbeda. Padahal, lanjut dia, PJJ sangat dipengaruhi oleh faktor peranan orang tua.

Peran orang tua dalam PJJ yakni adanya pendampingan kepada anaknya, atau apakah orang tua memiliki menguasai teknologi digital. Hal-hal seperti ini menurut Retno mestinya dipetakan agar PJJ pada setiap anak bisa berjalan dengan efektif.

Selain itu, masih tidak ada pemetaan variasi PJJ yang dibangun bersama antara guru, siswa, dan orang tua. "Misalnya, sistem pembelajaran seperti apa yang tepat atau sesuai dengan kondisi anak dari segi ekonomi keluarga, ketiadaan alat daring, ketidakstabilan sinyal, kondisi orang tua yang bekerja," kata dia lagi.

Retno menambahkan, kebijakan PJJ terkesan menyamakan masalah yang ada di seluruh Indonesia, sehingga hanya ada satu solusi. Misalnya, kebijakan bantuan kuota internet hingga Rp 7 triliun. Pada praktiknya, masih ada banyak anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai atau mereka berada di wilayah dengan sinyal yang sulit.

Kondisi setelah satu tahun lebih PJJ mengakibatkan kejenuhan pada peserta didik, sehingga menurunkan semangat belajar. Retno mengatakan, selain semangat belajar yang menurun, banyak anak kelas XII yang lulus juga menunda kuliah karena masa pandemi.

"Ini memunculkan potensi bertambahnya pengangguran, meningkatkan angka perkawinan anak dan pekerja anak," katanya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler