Harta Warisan tak Cukup Membayar Utang, Harus Bagaimana?
Wajib membayar utang sebelum dilakukan pembagian warisan.
REPUBLIKA.CO.ID,
Pertanyaan:
Assalamu‘alaikum wr. wb.
Apa yang harus dilakukan ahli waris apabila sang ayah meninggal dunia, dan harta yang dimilikinya tidak cukup untuk membayar utangnya? Bagaimana penyelesaiannya? Dalam hal kreditur lebih dari satu bagaimana pembagiannya? Mana yang harus dilakukan mengingat harta peninggalan tidak cukup untuk menyelesaikan utangnya? Apakah sisa utang itu harus ditanggung sampai anak cucu? Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Mazia, Mahasiswa FH Universitas Muhammadiyah di Medan (disidangkan pada Jum’at, 25 Shafar 1438 H / 25 November 2016 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih kami sampaikan atas kepercayaan saudara kepada kami. Kami akan menjawab pertanyaan saudara sebagai berikut.
Semua ulama sepakat, bahwa segala yang dimiliki oleh muwaris (orang mati yang meninggalkan harta warisan) di masa hidupnya, baik harta yang bergerak ataupun yang tidak, demikian pula hak-hak kehartaan, diwariskan kepada para ahli waris setelah dikurangi dengan kewajiban yang ditunaikan sebelum pembagian warisan. Kewajiban tersebut yaitu:
Baca juga : UAS: Hadits Jangan Jadi Alasan tak Gosok Gigi Saat Puasa
Tahjiz
Tahjiz ialah segala yang diperlukan oleh seorang yang meninggal sejak dari wafatnya sampai kepada penguburannya, seperti biaya untuk memandikan, mengkafani dan menguburkannya. Hak ini yang harus diambil dari jumlah tirkah (harta peninggalan) sebelum diambil untuk hak-hak yang lain.
Utang yang harus dibayar oleh orang yang meninggal
Untuk keperluan membayar utang diambil dari tirkah, sesudah dipotong untuk keperluan tajhiz. Orang yang meninggal bisa jadi mempunyai utang kepada Allah dan utang kepada sesama manusia. Utang-utang kepada Allah itu berupa zakat, kafarat dan nazar. Sedangkan utang-utang kepada sesama manusia, ada yang menyangkut harta, ada utang yang dilakukan di masa sehat dan ada utang yang dilakukan dalam keadaan sakit.
Kewajiban membayar utang sebelum dilakukan pembagian warisan disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ ۗ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النسآء، 4: 11] .
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS. an-Nisa (4): 11].
Apabila harta masih tersisa setelah dikurangi untuk biaya tajhiz, maka semua sisa harta itu diambil oleh orang yang mengutangkannya, jika dia hanya seorang. Jika yang mengutangkan itu dua orang atau lebih, maka masing-masing mengambil menurut persentase utang.
Namun jika jumlah utang itu tidak dapat dilunasi dengan sisa hartanya, secara hukum untuk melunasi utangnya diambil dari baitul mal. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا [رواه البخاري].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan tanggungan, maka kami yang menjaminnya. [HR. al-Bukhari, nomor 6266].
Dengan demikian dalam kondisi seperti ini, utang orang tua yang meninggal dunia secara hukum tidak menjadi tanggungan anak cucunya. Dapat pula utang tersebut ditanggung oleh kaum muslimin yang berkenan untuk melunasi.
Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw yang disebutkan dalam hadis sebagai berikut,
حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ فَقَالُوا صَلِّ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ صَلِّ عَلَيْهَا قَالَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قِيلَ نَعَمْ قَالَ فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا ثَلَاثَةَ دَنَانِيرَ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ فَقَالُوا صَلِّ عَلَيْهَا قَالَ هَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ [رواه البخاري].
Telah menceritakan kepada kami al-Makkiy bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi ‘Ubaid dari Salamah bin al-Akwa’ ra. berkata: Kami pernah duduk bermajelis dengan Nabi saw. ketika dihadirkan kepada beliau satu jenazah kemudian orang-orang berkata: Shalatilah jenazah ini. Maka beliau bertanya: Apakah orang ini punya utang? Mereka menjawab: Tidak. Kemudian beliau bertanya lagi: Apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Tidak. Akhirnya beliau menyalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, lalu orang-orang berkata: Wahai Rasulullah saw., shalatilah jenazah ini. Maka beliau bertanya: Apakah orang ini punya utang? Dijawab: Ya. Kemudian beliau bertanya lagi: Apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Ada, sebanyak tiga dinar. Maka beliau bersabda: Shalatilah saudaramu ini. Berkata Abu Qatadah: Shalatilah wahai Rasulullah, nanti utangnya aku yang menanggungnya. Maka beliau saw. menshalatkan jenazah itu [HR. al-Bukhari nomor 2127].
Sungguhpun demikian, sudah semestinya anak atau ahli waris sebagai bentuk kebaktian kepada kedua orang tuanya berusaha semaksimal mungkin melunasi utang orang tuanya dengan hartanya sendiri, dengan tanpa memudaratkan rumah tangganya.
Anjuran menafkahkan harta bagi kepentingan orang tua disebutkan dalam al-Qur’an:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ [البقرة، 2: ٢١٥].
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya [QS. al-Baqarah (2): 215].
Berkaitan dengan melunasi utang orang tua, khususnya utang kepada Allah, dapat dipahami dari hadis berikut,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللهَ فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ.
Dari Ibnu ‘Abbas ra. (diriwayatkan) bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi saw lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya? Beliau menjawab: Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai utang, apakah kamu wajib membayarkannya? Bayarlah utang kepada Allah karena (utang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar [HR. al-Bukhari nomor 1720].
Hak menunaikan wasiat orang yang meninggal dalam batas-batas yang dibenarkan syarak tanpa perlu persetujuan para ahli waris, yaitu tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, sesudah diambil keperluan tajhiz dan keperluan membayar utang, baik wasiat itu untuk ahli waris, atau untuk orang lain.
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 175 disebutkan kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah, sebagai berikut
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
- Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
- Menyelesaikan wasiat pewaris.
- Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, utang-utang si mati terbatas pada harta peninggalannya, sehingga secara hukum tidak menjadi beban ahli waris.
Wallahu a’lam bish-shawab
---
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 10 Tahun 2018
https://suaramuhammadiyah.id/2021/04/14/harta-warisan-tidak-cukup-untuk-membayar-hutang/