Tahapan Menuju Insan Kamil Menurut Kacamata Tasawuf
Alquran menggambarkan tahapan-tahapan menuju insan kamil
Oleh : Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof KH Nasaruddin Umar
REPUBLIKA.CO.ID, Manusia pada mulanya adalah makhluk langit. Namun, kejadian drama kosmos membuat manusia jatuh ke bumi penderitaan meninggalkan langit kebahagiaan.
Manusia sebagai insan kamil semula merupakan wujud batin kemudian turun menjadi wujud lahir (min al-bathin ila al-dhahir), dari wujud tunggal ke wujud banyak (min al-ijmal ila al-tafshil) karena makin ke atas makin menyatu (qur'an) dan makin ke bawah makin terpisah-pisah (furqan). Sehingga, dengan demikian bisa dikatakan manusia dari dari wujud kesatuan menjadi keterpisahan (min al-qur'an ila al-furqan).
Drama kosmos ini biasa juga disebut perjalanan turun (al-qaus al-nuzul/tanazul) ke bumi. Istilah lain ialah dari wujud Ilahi (al-Haq) menjadi wujud makhluk (al-khalq). Ketika manusia masih menjadi makhluk langit berlaku baginya ketentuan dhahir (al-hukumah al-dhahiriyyah). Setelah jatuh ke bumi maka manusia berlaku baginya ketentuahn lahir (al-hukumah aldhahiriyyah).
Setelah bermanifestasi sebagai wujud lahir manusia berusaha untuk kembali ke kampung halamannya di langit dengan melakukan perjalanan spiritual dari wujud dhahir ke wujud batin (al-sair min al-adha hir ila al-bathin), dari wujud yang banyak menjadi wujud tunggal (min al-tafshil ila al-ijmal), dan dari multi wujud ke wujud tunggal (min al-furqan ila al-qur'an).
Perjalanan pulang manuusia ke langit digunakan beberapa istilah, antara lain sair, safar, suluk, siyah, subul, dan yang paling popular ialah Isra Miraj. Perjalanan spiritual manusia ke langit biasa disebut oleh ulama tasawuf dengan istilah: Madhhar al-Ijma', Nur Muhammad, Nufus al-Rahman, Jauhar, dan istilah yang agak kurang pas 'Aql al-Awwal. Namun, istilah-istilah tersebut di atas juga sering digunakan dalam kontels anak manusia (Adam) dan "keadaman" (Adamiyyah). Istilah-istilah tersebut juga sering digunakan dalam konteks perjalanan makrokosmos (al-'alam alkabir) dan mikrokosmos (al-'alam al-shagir). Proses perjalanan "pulang kampung" ini dipopulerkan dengan ayat: Inna lillah wa inna ilaihi raji'un (QS al- Baqarah [2]: 156).
Tahapan-tahapan perjalanan spiritual insan kamil ini diisyaratkan di dalam ayat: Latarkabunna tharaqan 'an thabaq (Sesungguhnya kalian melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan) (QS Al Insyiqaq [84]:19). Dalam ayat lain dikatakan:
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS As Sajadah [32]: 5).
Proses perjalan spiritual ini mengikuti pola permanen yang ditetapkan Sang Khaliq, yaitu perwujudan dari satu tahap ke tahapan lain selalu mengacu kepada wujud azali (tidak didahului ketiadaan) dan wujud abadi (tidak diakhiri dengan ketiadaan).
Keazalian dan keabadian inilah yang disebut dengan baqa, yakni abadi di dunia dan di akhirat (baqa maujduhu dunyan wa akhiran). Di manapun dan kapan pun perwujudan atau fenomena itu berwujud maka di situ akan tergambar keabadian model itu, sebagaimana diisyaratkan di dalam Alquran:
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS Al Hijr [15]: 21).
Rangkaian perjalanan spiritual kembali kepada Tuhan ditempuh melalui seju, lah, aqm, dalam keadaan tanpa tekanan sedikit pun dari manapun dan pengembaraan atau perjalanan anak manusia yang diklaim berpotensi menduduki tempat paling rendah (asfala safilin) sampai kepada tempat paling baik (ahsan taqwim).
Anak manusia dengan meminjam istilah SH Nasr dalam Ideal and realities of Islam dan Frithjof Schuon dalm Understanding Islam adalah satu-satu nya makhluk eksistensialis, yang posisinya fluktuatif, bisa turun-naik martabat dan maqamnya di sisi Tuhan. Dalam Alquran disebutkan:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orangorang yang lalai." (QS Al Araf 179).
Dalam ayat di atas juga menyatakan manusia bisa terjerembap martabatnya ke jenjang lebih rendah, bahkan lebih rendah daripada binatang. Namun, manusia juga bisa melejit ke atas ke puncak yang lebih dekat bahkan lebih dekat dari itu, sebagaimana diisyaratkan di dalam ayat:
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
"Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendusta kan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS An Najm [53]: 1 12).
Di dalam ayat di atas mengisyaratkan ada empat maqam atau terminal yang harus dilewati setiap pencari Tuhan (salikin).