Kisah Kiai Wahab dan Bung Karno di Balik Halal Bihalal

Pencetus Halal Bihalal adalah Kiai Wahab di hadapan Bung Karno

Republika/Aditya Pradana Putra
Pencetus Halal Bihalal adalah Kiai Wahab di hadapan Bung Karno. Halal Bihalal di hari Idul Fitri. (ilustrasi)
Rep: Ali Yusuf Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Orang Islam Indonesia memiliki tradisi baik (halal bihalal) setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Tradisi baiknya ada di Indonesia tidak ada di negara lain. 

Baca Juga


"Halal bihalal adalah sebuah tradisi kreativitas masyarakat Muslim Indonesia karena kebiasaan ini hanya ada di negeri ini," kata Dra Hj Udji Asiyah dalam bukunya Dakwah Cerdas Ramadan, Idul Fitri, Walimatul Hajj dan Idul Adha.  

Menurutnya, halal bihalal ini merupakan refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Fenomena halal bihalal sudah menjadi budaya baru yang baik. "Budaya memaafkan, saling mengunjungi dan saling berbagi," katanya.

Hj Asiyah mengatakan, tradisi khas bangsa Indonesia ini akhirnya menjadi sebuah simbol yang merefleksikan bahwa Islam adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama.

Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai. "Akan tetapi hanya sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan," katanya. 

Rasulullah SAW telah memberi tahu, siapa yang membawa kebaikan yang diikuti orang lain maka Allah SWT akan melimpahkan pahala bagi mereka. Dari Ibnu Mas'ud RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرٍ فَاعِلِهِ  “Barangsiapa menunjukkan seseorang kepada kebaikannya, dia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim).

Bung Karno dan Kiai Wahab 

Penggagas istilah halal bihalal adalah Kyai Abdul Wahab Hasbullah, dalam memoar KH Saifuddin Zuhri, berjudul "berangkat dari pesantren" juga penuturan KH Dr Masdar Farid Mas'udi (pondoktermas.com 2015) bahwa setelah Indonesia merdeka 1945 pada 1948 Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa.

"Para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum, sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, diantaranya DI/TII PKI Madiun," katanya. 

Pada 1948 di pertengahan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke istana negara untuk dimintai pendapat dan sarannya dalam mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian KH Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disusun disunahkan bersilaturahim. Mendengar saran itu Bung Karno menyelak dan menyanggah pendapat KH Wahab itu. "Silaturahim kan biasa saya ingin istilah yang lain," kata Bung Karno. 

Dengan tegas KH Wahab menjawab, "Itu gampang. Begini bung. Para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram, supaya mereka tidak punya dosa maka harus dihalalkan." 

Jadi, kata KH Wahab, mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan saling menghalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal. 

Dari saran KH Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahim yang diberi judul halalbihalal. Dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai Bapak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. 

Sejak saat itulah instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat Muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. 

Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah sementara KH Wahab menggerakkan warga dari bawah. "Jadilah halal bihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat hari raya Idul Fitri seperti sekarang," katanya. 

 

Namun kata Hj Asiyah istilah halal bihalal ini secara nyata dicetuskan KH Wahab dengan analisis pertama "thalabu halal bi thariqin halal" adalah mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.

Atau dengan analisis kedua "halal yujza'u bi halal" adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. "Dan ini juga menjadi bukti nyata bahwa halal bihalal merupakan produk asli Indonesia," katanya. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler