Penentuan Arah Kiblat di Masa Ottoman

Ada dua metode yang diterapkan Ottoman dalam penentuan arah kiblat.

Google.com
Masjid Nusretiye merupakan salah satu bangunan tempat ibadah peninggalan kejayaan Dinasti Turki Utsmani (Ottoman) di wilayah Istanbul, Turki.
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Masjid berkiblat ke arah Ka'bah di Makkah, Arab Saudi. Tentu ini sudah jamak diketahui seluruh Muslim. Masjid-masjid di seluruh dunia dibangun dengan menghadap ke arah Ka'bah selama lebih dari 1.400 tahun.

Baca Juga


Dalam praktik Islam abad pertengahan, ada perbedaan tipis tetapi signifikan antara menghadap bangunan yang jauh dan menghadap kota yang jauh. Cara pencapaiannya bervariasi menurut waktu dan tempat.

Metode paling awal melibatkan penyelarasan astronomi, arah mata angin, utara dan selatan. Kemudian matahari terbit dan terbenam pada ekuinoks (timur dan barat) atau arah solstitial (matahari terbit atau terbenam pada titik balik matahari musim panas atau musim dingin).

Alasannya adalah bahwa orang ingin menghadap bangunan jauh yang secara astronomis selaras. Sumbu utama dari dasar persegi panjang Ka'bah menghadap terbitnya Canopus dan titik terbenamnya bintang-bintang Bajak yaitu sumbu minor menghadap matahari terbit di musim panas dan matahari terbenam di musim dingin.

 

 

Hal itu karena garis lintang Makkah, kedua sumbu ini kebetulan tegak lurus. Apakah itu direncanakan seperti itu? Tidak ada yang pernah tahu. Apa yang diketahui adalah bahwa memang demikian dan ini telah menjadi hal penting bagi umat Islam selama berabad-abad.

Sejak abad ke-9 dan seterusnya, umat Islam memiliki akses ke koordinat geografis dan mereka mengembangkan metode trigonometri dan geometri untuk menemukan kiblat, menuju 'titik' di dunia bumi, Makkah.

Namun sepanjang sejarah, Muslim telah menggunakan metode yang berbeda untuk menemukan kiblat, yang didokumentasikan dalam risalah tentang hukum suci, ilmu rakyat, astronomi, matematika, dan geografi. Secara khusus, umat Islam mengembangkan geografi suci dengan dunia yang terbagi menjadi beberapa sektor di sekitar Ka'bah.

Setiap sektor menghadap segmen keliling Ka'bah. Pengertian perkiraan sederhana seperti itu digunakan di samping kiblat yang dihitung secara matematis, yang akurasinya tentu saja bergantung pada keakuratan koordinat geografis, bujur dan lintang yang tersedia, yang tidak selalu memuaskan.

 

 

Orang mungkin berpikir bahwa astronom pada Dinasti Ottoman dapat menghitung kiblat lokasinya hingga satu atau dua derajat jika dia mau. Hasilnya, tentu saja, tidak selalu akurat karena koordinat geografis modern belum tersedia.

Ada dua metode yang diketahui terdapat pada dinasti tersebut, yang digunakan untuk menentukan arah kiblat. Dua metode ini didasarkan pada dua kitab abad ke-13, yaitu 'al-Jaghmīnī, al-Mulakhkhaṣ fil-haya, dan Naṣīr al-Dīn al-Ūsī's al-Tadhkira fī ʿilm al-hay'a.

Masing-masing kitab mengusulkan metode perkiraan untuk menemukan kiblat yang memang sebetulnya kurang akurat ketimbang metode lain. Metode inilah yang mungkin berasal dari abad ke-8 dan digunakan selama lebih dari satu milenium.

Meski begitu, mereka yang membangun masjid tidak selalu berhubungan dengan para astronom. Sebaliknya, mereka akan menggunakan kesejajaran astronomis atau kiblat yang diturunkan dari diagram geografi sakral atau metode tradisional yang populer di wilayah tersebut atau rumus prosedur geometris/trigonometri perkiraan standar yang digunakan secara luas dari abad ke-8 hingga abad ke-19. 

 

Arah kiblat masjid saat itu, dihitung menggunakan metode perkiraan matematika. Ada yang menggunakan prosedur yang tepat, dan yang lainnya diturunkan dengan teknik astronomi rakyat atau menggunakan geografi suci Ottoman atau hanya mengandalkan tradisi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler