Perjuangan Shahnaz Haque Melawan Kanker Ovarium

Sudah dua dekade Shahnaz Haque menjadi penyintas kanker ovarium.

Youtube
Sudah dua dekade Shahnaz Haque menjadi penyintas kanker ovarium.
Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah dua dekade menjadi penyintas kanker ovarium, selebritas Shahnaz Haque mengungkapkan gaya hidupnya juga berubah menjadi jauh lebih sehat. Shahnaz yang didiagnosis kanker ovarium pada 1998 mengaku dulu dirinya tidak terlalu peduli dengan kesehatan. Ia mengenang kala itu pekerjaan membanjir, membuatnya terlalu sibuk untuk menjaga gaya hidup.

Baca Juga


"Sekarang saya tidak makan makanan dalam kaleng, masak, makanan dimasak (langsung dihabiskan) tidak bolak balik kulkas dan dipanaskan," kata Shahnaz dalam webinar kesehatan, Sabtu (29/5).

Pola makan yang baik serta olahraga diterapkan hingga saat ini, hal yang juga diajari untuk ketiga putrinya sejak kecil. Dia menanamkan pemahaman mengenai hidup sehat demi kebaikan diri sendiri.

Langkah ini dia pilih karena risiko terkena kanker ovarium lebih besar bila ada riwayat keluarga yang terkena kanker ovarium atau payudara. Sementara itu, ibu dan nenek Shahnaz meninggal dunia akibat kanker, begitu pula mertuanya yang wafat akibat kanker prostat dan kanker payudara.

"Saya kasih tahu kepada anak, sakit itu rasanya tidak enak. Jadi mereka tahu jika mereka mau mencoba sesuatu yang berisiko, mereka harus tahu cara menanggulanginya," jelas Shahnaz.

Jadi, bila masih ada dorongan untuk mengonsumsi makanan-makanan yang tidak sehat dan memperbesar risiko, maka harus ada kesadaran bahwa godaan itu dapat berujung kepada penyakit yang jadi penyebab kematian nomor 8 akibat kanker pada perempuan di seluruh dunia. Dia bersyukur anak-anaknya secara sadar menjaga pola makan sehat dan aktif bergerak.

Putri sulungnya adalah atlet softball yang kini berada di Kanada. Di tengah pandemi, si sulung tetap berlatih dengan menerapkan protokol kesehatan.

Sebagai atlet, secara otomatis pola makan sehat pun selalu dijalani. Hal serupa juga dijalani oleh putri keduanya yang menjadi atlet berkuda.

"Anak nomor tiga saya seniman, sama seperti ayahnya, dia juga harus bergerak terus. Gaya hidup keluarga tergantung seorang ibu. Anak akan meniru, jadi perbaiki diri kita dulu," ujar dia.

Pembicaraan soal kanker mengalir secara alami di dalam keluarga Shahnaz. Dia mengajak tiga putrinya untuk memahami perihal tersebut.

"Saya tidak mau menakut-nakutin anak saya, mereka tidak bisa memilih riwayat leluhur, tetapi mereka bisa pilih bagaimana menjalani kehidupan mereka kalau mengenali faktor risiko dan tanda-tanda yang terjadi di dalam tubuh," ungkapnya.

Biasanya, kanker ovarium tidak disertai gejala pada stadium awal sehingga sering luput dari perhatian dan baru ditemukan ketika telah mencapai stadium lanjut, hal yang dialami ibu dan neneknya. Hanya 20 persen dari kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal, 94 persen pasien stadium awal ini akan dapat hidup lebih dari 5 tahun setelah didiagnosis.

Pada kasusnya, dia merasa beruntung karena kanker terdeteksi secara dini lantaran dia tidak mengalami menstruasi selama beberapa lama padahal belum aktif secara seksual. Setelah memeriksakan diri, dokter menyatakan dia harus dioperasi.

Rasa takut membuatnya menunda hingga setahun hingga gejala yang dirasakan semakin memburuk. Buang air besar jadi kian sulit, frekuensi buang air kecil makin sering juga sakit pinggang.

Nyeri itu bahkan membuat dia merasa agak kesulitan saat berjalan. Setelah itu baru Shahnaz kembali lagi ke dokter dan memberanikan diri menjalani operasi pada 1999.

"Keuntungan saya, saya tidak mencoba pengobatan alternatif. Selesai saya berjuang jadi penyintas, saya selalu katakan sama pejuang kanker bahwa itu penyakit medis, bukan penyakit jadi jangan ke dukun," katanya.

Shahnaz menegaskan kanker bukanlah akhir dari segalanya. Bergabunglah dengan komunitas yang bisa berbagi energi positif karena berpikir positif juga penting dalam proses penyembuhan.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler