Kisah Komunitas Islam Generasi Pertama di Sumatra
Komunitas itu terbangun sejak era Khalifah Sayyidina Usman bin Affan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas Islam generasi pertama di Sumatra ternyata tidak hanya ada di Barus (Sumatra Utara/Tapanuli Tengah). Namun, terdapat wilayah lain yang juga memiliki jejak-jejak informasi sejarah mengenai komunitas pertama Islam di Sumatra.
Dhurorudin Mashad dalam buku Muslim Papua menjelaskan, selain di Barus ternyata terdapat pula komunitas Islam generasi pertama. Di wilayah Aceh yang dulunya disebut dengan Ta Ce, terdapat informasi mengenai komunitas Islam generasi pertama. Komunitas itu terbangun sejak era Khalifah Sayyidina Usman bin Affan.
Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 Masehi Sayyidina Usman mengirim delegasi ke China. Dan dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun itu, para utusan Sayyidina Usman singgah juga ke kepulauan di Nusantara.
Dua dekade berikutnya tepatnya tahun 674 Masehi, pemerintah Dinasti Umayyah bahkan telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatra. Inilah perkenalan pertama penduduk wilayah itu dengan agama Islam.
Sedangkan di dalam sentra kerajaan Sriwijaya (Palembang dan sekitarnya) pun dakwah Islam ternyata sama tuanya dengan Barus maupun Aceh yang terjadi sejak Rasulullah SAW masih hidup. Disebutkan sekitar 628 Masehi, penguasa Sriwijaya kedatangan utusan dari tanah Arab bernama Askasyah bin Muhsin Al-Usdi.
Akasyah diutus Nabi Muhammad untuk menyampaikan Islam kepada penguasa Sriwijaya. Utusan ini mendapat sambutan baik, alasannya adalah karena Islam adalah ajaran monoteisme yang memiliki kemiripan dengan keyakinan yang dianut oleh sebagian bangsawan Sriwijaya yang dikenal sebagai ajaran Abraham.
Berikutnya di tahun 717 Masehi terdapat 35 kapal perang dari Dinasti Umayyah ke Sriwijaya. Hal ini semakin mempercepat perkembangan Islam di wilayah tersebut. Hanya saja, perkembangan Islam baru dapat signifikan di Sriwijaya pada awal abad ke-8 Masehi akibat adanya pengungsi Muslim Persia dan Cina ke Sriwijaya.
Untuk kemudian dakwah Islam di tanah Sriwijaya terus berlanjut, terutama oleh pedagang asal jazirah Arab yang kerap berdatangan. Karena pengaruh bangsa Persia Muslim dan Muslim Arab yang tinggal dan berkunjung ke Sriwijaya, Raja Sriwijaya (Sri Indravarman) masuk Islam pada 718 Masehi.
Tercatat beberapa kali raja tersebut berkirim surat kepada Khalifah Islam di Syiria (Suriah). Bahkan salah satu surat yang ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 Masehi-720 Masehi) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan dai ke Istana Sriwijaya.
Terkait sejarahnya, sebagian penduduk Sriwijaya konon secara genealogi banyak yang terhitung kerabat kerajaan Persia. Hal ini tergambar di dalam kitab-kitab sejarah Melayu, yang mengisahkan pemimpin wilayah Palembang, Demang Lebar Daun, merupakan anak cucu Raja Sulan, keturunan dari Raja Nusirwan Adil bin Kibad Syahriar.
Keberadaan keluarga Kerajaan Persia ini dikarenakan terjadinya konflik internal di Persia, sepeninggal Raja Nusirwan Adil. Akibatnya, sebagian bangsawan mengungsi ke Sriwijaya. Para pelarian politik ini dimanfaatkan oleh para penguasa Sriwijaya untuk menjadi instruktur di angkatan perangnya.
Bahkan dalam upaya memperkuat pasukannya, Sriwijaya mendirikan pangkalan militer di daerah Minanga yang berada di tepi Sungai Komering. Pada 669 Masehi, Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hiyang Sri Jayangga yang mana dia dilengkapi dengan angkatan oerang yang sangat terlatih. Atas modal inilah Kerajaan Sriwijaya dapat menaklukkan daerah sekitarnya, bahkan kemudian kerajaan induknya yakni Kerajaan Sribuja berhasil pula dikuasai.