Anggaran Alutsista Kemenhan Dinilai Cenderung Konservatif

Pemerintah disarankan cermat mencari pendanaan untuk modernisasi alutsista.

Antara/Teguh Prihatna
KRI Celurit-641 menembakan rudal C-705 ke target sasaran di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (8/4/2021). TNI Angkatan Laut (AL) melaksanakan latihan operasi laut gabungan untuk menguji kesiapsiagaan peralatan tempur atau Alutsista di lapangan.
Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pengamat militer dari Binus University Curie Maharani menilai anggaran Rp 1.760 triliun untuk modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) masih normal. Bahkan ia menilai, anggaran yang tertuang dalam rencana strategis Kementerian Pertahanan untuk memodernisasi alutsista sebesar ini cenderung konservatif.

“Angka ini normal saja, cenderung konservatif,” ujarnya dalam keterangan, Selasa (1/6). Curie membandingkan dengan anggaran modernisasi alutsista yang tertuang dalam strategi pembangunan Minimum Essential Force (MEF) III (2020-2024) yang mencapai Rp 186.623,3 miliar atau sekitar Rp 2,7 triliun per tahun.

"Sepengetahuan saya, anggaran modernisasi alutsista pada MEF III itu Rp 186.623,3 milar yang berarti sekitar 2,7 miliar dolar per tahun, sedangkan rerata anggaran modernisasi alutsista yang dialokasikan untuk 2020-2044 berkisar Rp 3 triliun per tahun. Ada selisih sedikit di mana kita harus memperhitungkan defisit dan kenaikan harga alutsista," tuturnya.

Menurut Curie, isu yang bisa dilihat dalam rancangan perpres tentang alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) tersebut adalah upaya pemerintah memecahkan implementasi modernisasi yang tidak sesuai target. Salah satu penyebabnya adalah perubahan atau kaji ulang MEF.


"Dengan melakukan pengadaan di depan, diharapkan pelaksanaannya lebih konsisten. Tapi apakah dimungkinkan secara regulasi? Itu perlu dijelaskan," tegas Curie.

Sementara, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga menilai anggaran Rp 1.760 triliun untuk membeli alutsista selama 25 tahun masih tergolong kecil. "Kalau menghitung 25 tahun, ya, itu sebenarnya kecil, ya," katanya.

Jika rancangan itu disetujui Presiden, Fahmi mengatakan, pemerintah bisa mengejar target belanja pertahanan maksimal 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Sebab anggaran tersebut akan ditambah dengan anggaran pertahanan rutin sebesar rata-rata 0,78 persen dari PDB per tahun. Fahmi mengatakan, bila dibandingkan dengan potensi PDB Indonesia selama 25 tahun, yang besarnya bisa mencapai lebih dari Rp 375 ribu triliun, angka Rp 1.760 triliun itu sangat kecil, yaitu 0,5 persen.

Namun, ia menegaskan, pemerintah perlu cermat dalam mencari pendanaan sebab rencananya hal itu akan dipenuhi dari utang luar negeri. Ia melihat rencana belanja jangka panjang seperti yang tengah disusun  Kemenhan dibutuhkan karena selama ini ada inkonsistensi belanja alutsista. Sementara, dalam rancangan perpres yang sudah beredar, pemerintah berupaya menjaga konsistensi belanja alutsista dengan pengadaan di depan.

Menurut Fahmi, permasalahan utama yang ada selama ini adalah adanya pelambatan pengadaan alutsista berdasarkan data 2015-2019. Padahal Indonesia memiliki MEF sejak 2007. "Ada beberapa rencana pembelian yang nyatanya juga mangkrak sampai hari ini. Misalnya wacana pembelian Sukhoi SU-35. Itu, kan, sudah lama, tapi sampai hari ini enggak jelas, jadi beli atau tidak,” tegasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler