Sejak Peta Islam Dirilis, Rasisme di Austria Meningkat
IHRAM.CO.ID, WINA -- Sejak Austria merilis 'Peta Islam' bulan lalu, serangan rasis dan pelabelan telah meningkat di negara itu. Kepala kelompok komunitas Muslim pada Sabtu (5/6) mengatakan, serangan terhadap Muslim meningkat setelah insiden yang menuai kontroversi tersebut.
"Tanda-tanda jelek digantung di masjid-masjid kami. Kami telah mengatakan bahwa situs web ini harus dimatikan sesegera mungkin, bahwa itu bisa berbahaya. Maaf, tapi semua kekhawatiran kami terbukti benar," kata presiden Komunitas Agama Islam di Austria (IGGO), Umit Vural, kepada Anadolu Agency, dilansir Ahad (6/6).
Pemerintah Austria telah mendapat reaksi keras karena meluncurkan laman yang disebut National Map of Islam pada 27 Mei 2021 lalu. Laman itu berisi nama dan lokasi lebih dari 620 masjid, termasuk asosiasi Muslim, dan pejabat serta kemungkinan koneksi mereka di luar negeri.
Peta tersebut dibuat bersama oleh Universitas Wina dan Pusat Dokumentasi Politik Islam Austria. Perilisan peta Islam ini telah menuai kecaman dari umat Muslim Austria.
Akibat perilisan peta Islam tersebut, serangan rasis terhadap umat Islam meningkat, terutama terhadap masjid, yang telah menjadi sasaran kelompok rasis. Dalam dua hari terakhir, tanda-tanda penghasut anti-Muslim dilaporkan digantung di masjid-masjid di berbagai kota, terutama di ibukota Wina.
Vural mengatakan, meskipun peta demikian bukanlah fenomena baru, dukungan pemerintah yang berkelanjutan terhadap proyek tersebut melalui Pusat Dokumentasi Politik Islam telah membawa masalah ini ke tingkat yang baru.
Dia mencatat bahwa peta, yang dapat diambil untuk menunjukkan bahwa 'semua Muslim berbahaya', itu disiapkan dengan menggunakan data satu sisi.
"Pejabat menyebut setiap Muslim sebagai perwakilan dari 'Islam Politik' sesuka mereka. Permintaan koreksi informasi pada peta, sementara itu, diabaikan oleh tim yang melakukan penelitian," kata Vural.
Vural menggarisbawahi bahwa kelompoknya tidak dapat menjelaskan kepada pihak berwenang mengapa berbagai kebijakan, seperti larangan jilbab di sekolah dasar dan pendirian Pusat Dokumentasi Politik Islam, itu keliru. Namun, ia mengklaim melihat dengan sangat jelas bahwa umat Islam diperlakukan secara berbeda.
"Jika kami adalah agama yang diakui secara resmi di sini, kami ingin perlakuan yang sama dengan 15 komunitas agama lainnya, kami tidak ingin perlakuan berbeda atau khusus," lanjutnya.
Vural juga menekankan bahwa Muslim adalah bagian dari Austria dan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan melalui dialog. IGGO, yang mewakili kepentingan sekitar 800.000 Muslim Austria, memperingatkan agar tidak menstigma semua Muslim yang tinggal di Austria sebagai potensi bahaya bagi masyarakat dan tatanan hukum demokratis di negara itu.
Seorang aktivis di Austria, Martin Weinberger, mengatakan Kanselir Sebastian Kurz dan pemerintahannya memprioritaskan politik identitas, mengabaikan beberapa elemen masyarakat untuk kepentingan identitas tertentu, yang kemudian memuncak dengan dirilisnya peta demikian.
Dengan menggunakan istilah "Islam politik", Weinberger mengatakan pemerintah berusaha menggambarkan Muslim sebagai tersangka potensial. Sementara Muslim harus menghadapi berbagai langkah untuk membuktikan bahwa mereka bukan pendukung Islam politik.
"Peta Islam tidak didukung oleh Universitas Wina karena bertentangan dengan ilmu pengetahuan," kata Weinberger.
Ia juga menyebut bahwa pelarangan jilbab di sekolah dasar dan penempatan bendera Israel di gedung-gedung negara adalah manifestasi dari politik identitas. Ia lantas menyebut hal itu juga melanggar hukum.
"Kita punya konstitusi, dan konstitusi itu harus dihormati. Untuk alasan ini, kita perlu mengangkat suara kita dengan sangat kuat untuk mencegah kebijakan yang membahayakan umat Islam dan memecah belah negara ini," tambahnya.