WHO tak Bisa Paksa China Bocorkan Data Asal Usul Covid-19
Teori kebocoran laboratorium Wuhan baru-baru ini menjadi subyek perdebatan publik.
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Seorang pejabat tinggi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, WHO tidak dapat memaksa China untuk membocorkan banyak data tentang asal usul Covid-19. Direktur Program Kedaruratan WHO Mike Ryan pada Senin (7/6) mengatakan, WHO akan mengusulkan studi yang diperlukan untuk memahami di mana virus itu muncul.
“WHO tidak memiliki kekuatan untuk memaksa siapa pun dalam hal ini. Kami sangat mengharapkan kerja sama, masukan, dan dukungan dari semua negara anggota kami dalam upaya itu,” kata Ryan, dilansir Aljazirah, Selasa (8/6)
Ada teori yang mengatakan bahwa virus Corona berasal dari hewan yakni dari kelelawar, dan menular ke manusia. Ada juga teori virus itu lolos dari laboratorium di Wuhan, China.
Teori kebocoran laboratorium Wuhan baru-baru ini menjadi subyek perdebatan publik, setelah beberapa ilmuwan terkemuka menyerukan penyelidikan penuh tentang asal usul virus. Hipotesis bahwa virus itu secara tidak sengaja bocor dari laboratorium telah diabaikan oleh para ilmuwan. China telah berulang kali membantah bahwa laboratorium itu bertanggung jawab atas wabah tersebut.
Anggota tim WHO awal tahun ini mengunjungi China untuk mencari asal-usul Covid-19. Usai kunjungan ke China mereka mengatakan, tidak memiliki akses terhadap semua data. Hal ini mendorong perdebatan tentang transparansi China terhadap asal usul virus korona.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyesali ketidakadilan dalam distribusi vaksin Covid-19. Menurut Tedros, hal ini telah menciptakan pandemi dua jalur yaitu negara-negara Barat dilindungi dan negara-negara miskin masih terpapar.
Dia menyuarakan kekesalan bahwa beberapa negara miskin tidak dapat mengimunisasi petugas kesehatan, lansia dan populasi lain yang paling rentan terhadap virus Corona.
"Kami melihat pandemi dua jalur: banyak negara masih menghadapi situasi yang sangat berbahaya, sementara beberapa dari mereka dengan tingkat vaksinasi tertinggi mulai berbicara tentang mengakhiri pembatasan” kata Tedros.
Tedros mengatakan, enam bulan sejak vaksin virus Corona pertama diberikan, negara-negara berpenghasilan tinggi telah memberikan hampir 44 persen dari dosis vaksin dunia. Sementara, negara berpenghasilan rendah hanya memberikan 0,4 persen.
Tedros telah menyerukan upaya global besar-besaran untuk melakukan vaksinasi setidaknya 10 persen dari populasi semua negara pada September, dan 30 persen pada akhir tahun. Untuk memenuhi target tersebut membutuhkan tambahan 250 juta dosis vaksin pada September, dann 100 juta dosis untuk Juni dan Juli.