Gaduh Bocornya Draf RUU Pajak Kebutuhan Pokok
Bahkan anggota dewan menerima draf yang beredar itu dari salah satu pedagang pasar.
REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa. Adapun rencana tersebut tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Mengacu Pasal 4A RUU KUP, kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Padahal, kebutuhan pokok sebagai barang dibutuhkan oleh rakyat yang sebelumnya tidak dikenakan PPN, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 144 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.
Menyebarnya draf RUU KUP atau rencana pemerintah menerapkan PPN berbagai sektor dan jasa membuat kegaduhan pada masyarakat. Hal ini diperparah karena draf RUU KUP ternyata belum diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibahas.
Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengaku para anggota dewan yang berada komisinya belum menerima draf RUU KUP tersebut. "Sampai sekarang belum dibahas di Bamus (Badan Musyawarah DPR) kita belum terima draf dari pemerintah," ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (10/6).
Sementara Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo menambahkan, sebagai mitra utama Kementerian Keuangan sekaligus sebagai anggota komisi yang membidangi keuangan negara juga belum memegang draf tersebut. "Saya mohon dengan hormat ibu menteri keuangan untuk membantu saya klarifikasi konstituen saya. Kemarin saya dihujani oleh WA, SMS, bahkan telepon dari pedagang sembako, kenapa itu dipajaki. Kami saja belum menerima drafnya,” ucapnya.
Dia juga merasa dilangkahi dengan beredarnya draf RUU KUP. Bahkan, dia menerima draf yang beredar tersebut dari salah satu pedagang pasar di Malang Jawa Timur.
"Sebagai mitra kami terkagetkan ketika media bahkan saya dapat dari pedagang pasar di Malang, missed call saya berkali-kali dikiranya saya tidak mau menerima. Kemudian saya respons lagi rapat. Lalu mereka bertanya "masa DPR tidak tahu" ceritanya.
Padahal, dalam panja pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pemerintah dan DPR sudah sepakat hal-hal yang menyangkut revisi UU KUP tidak dibahas dulu sampai dengan draf tersebut berada tangan DPR. "Dalam hal ini, untuk membangun kemitraan lebih baik, kami minta klarifikasi, kenapa ini bisa muncul dan kemudian kami dewan merasa terpojok karena kami sampaikan kita memang belum bahas ini," jelasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta maaf kepada Komisi XI DPR atas beredarnya draf RUU KUP pada masyarakat. Pemerintah tidak bermaksud untuk melangkahi DPR.
"Sekali lagi tentu saja saya meminta maaf karena pasti semua dari Komisi XI ditanya sebagai partnernya kami. Kenapa ada kebijakan seolah-olah sekarang itu sudah naik," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengaku, siap membahas sekaligus menjelaskan kepada DPR mengenai revisi perpajakan. "Nah ini yang ingin kita nanti akan dijelaskan pada saat kita membahas RUU KUP dengan komisi XI DPR," tegasnya.
Nantinya pembahasan RUU KUP tergantung dengan pimpinan DPR pada saat penutupan masa sidang Paripurna. Kemudian akan dibahas secara bersama-sama oleh Komisi XI DPR.
"Nanti kita bisa melihat secara keseluruhannya dan di situ kita bisa bahas mengenai apakah timing-nya harus sekarang? Apakah pondasinya harus seperti ini?," ucapnya.
Menurutnya pembahasan ini penting dan akan dilakukan secara panjang termasuk kelompok barang dan jasa mana yang akan dikenakan PPN. "Ini harus bersama-sama disebut prinsip gotong royong oleh semuanya. Siapa yang pantas untuk dipajaki itu semuanya perlu kita bawakan dan kita akan presentasikan secara lengkap baik sektor pelaku ekonomi," ucapnya.
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menyatakan, pembahasan revisi perpajakan akan segera dibahas bersama pemerintah dalam waktu dekat. Setidaknya pada masa sidang yang berakhir pada 16 Juli 2021 mendatang.
"Akan ada perkembangan pembahasan untuk RUU KUP yang akan bergulir. Insyaallah pada sidang kali ini, tentu di Komisi XI," ujarnya.
Pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap barang kebutuhan pokok. Adapun jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat seperti beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
PPN juga akan dikenakan terhadap barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya seperti emas, batubara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi. Adapun kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6,” tulis aturan tersebut.
Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Sebelumnya kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Selain memperluas objek PPN, revisi UU KUP tersebut juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Ada pula jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum darat, air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Kendati demikian, dalam draf yang diterima belum ada rincian spesifik soal jenis jasa yang termasuk dalam objek barang kena pajak baru tersebut.
Dalam ayat (3) Pasal 4A, hanya ada tambahan penjelasan soal jasa kena pajak baru yang tidak dikenakan PPN yakni jasa keagamaan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, serta jasa boga atau katering.
"Ketentuan mengenai jenis barang kena pajak tertentu, jasa kena pajak tertentu, barang kena pajak tidak berwujud tertentu, dan tarifnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah," tulis ayat (3) Pasal 7A draf tersebut.