Jelang tatap Muka, Jangan Sampai Sekolah Jadi Klaster Baru

Protokol kesehatan harus disiapkan serius sebelum menjalani sekolah tatap muka.

Edi Yusuf/Republika
Sejumlah pelejar SD mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) dengan penerapan protokol kesehatan (Prokes) di salah satu sekolah, di Kota Bandung, pekan lalu. Melonjaknya kasus corona saat ini akan menjadi pertimbangan Pemerintah Kota Bandung dalam memutuskan pelaksanaan PTM atau sekolah tatap muka secara terbatas.
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Bidang Korkesra, Abdul Muhaimin Iskandar (Gus AMI), mengingatkan pentingnya kesiapan protokol kesehatan (prokes) di sekolah jelang rencana dimulainya pembelajaran tatap muka (PTM) Juli 2021 mendatang. Apalagi, saat ini di sejumlah daerah peningkatan kasus Covid-19 kembali terjadi.

"Ini harus menjadi catatan dan harus dilakukan persiapan yang sangat serius dalam menghadapi sekolah tatap muka. Jangan sampai sekolah menjadi klaster baru penularan kasus Covid-19," kata Gus AMI dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/6).

Ia mengatakan, sebelum dilakukan sekolah tatap muka, program vaksinasi terhadap guru juga harus dituntaskan. Di sisi lain, sekolah juga harus melakukan komunikasi secara intens dengan para orangtua siswa sehingga anaknya bisa menerapkan prokes sesuai standar keamanan.

Ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menegaskan belajar tatap muka sebenarnya selama ini sudah dilakukan di sejumlah pesantren dengan tanpa gangguan serius. Namun, prokes di pesantren yang sudah melakukan pembelajaran tatap muka benar-benar memperhatikan prokes.

"Bahkan ketika anak kembali ke pesantren, orangtua pun tidak bisa mengantarkannya sampai di dalam, cukup di halaman pesantren. Anak yang masuk juga dilakukan pemeriksaan swab antigen atau Gnose," ucapnya.   

Terkait belum adanya vaksinasi untuk anak, Gus AMI mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), dan organisasi lainnya terkait vaksinasi anak, untuk terus mengkaji keamanan vaksin bagi anak-anak atau masyarakat yang berusia di bawah 16 tahun, mengingat vaksin Sinovac, Pfizer, dan AstraZeneca baru direkomendasikan bagi masyarakat yang berusia di atas 16 tahun.

"Kemenkes bersama IDAI harus memastikan persiapan proses uji klinis vaksin kepada anak-anak dilakukan secara hati-hati dan bertahap, agar vaksinasi pada anak nantinya tidak akan menimbulkan efek samping yang mengkhawatirkan dan berdampak jangka panjang bagi tumbuh kembang anak," ujarnya.

Ia juga meminta Kemenkes bersama peneliti vaksin agar terus meneliti jenis-jenis vaksin yang telah mendapatkan perizinan edar di Indonesia dengan memperhatikan aspek keamanan, tolerabilitas dan imunogenisitas, beserta dosis yang tepat untuk diberikan kepada anak-anak.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler