Dikhianati: Kisah Tragis Penerjemah AS di Afghanistan
IHRAM.CO.ID, KABUL, AFGHANISTAN -– Ameen masih mengingat hari musim panas di awal tahun 2009 ketika anak-anak dan keponakannya yang masih kecil sedang bermain di lapangan hijau subur di samping pertanian keluarga di provinsi Khost saat dia mengawasi mereka. Dia telah kembali dari Kabul untuk kunjungan singkat untuk membantu adiknya mengurus lahan pertanian da kini adiknya itu sedang berjuang menuntaskan persoalan finansial.
Kedua pria itu bekerja bersama di dekat tempat anak-anak bermain. Tiba-tiba, sebuah mobil menepi, dan salah satu penumpang turun dan mulai menembaki mereka semua dengan senapan serbu.
Seperti dilansir Al Jazeera.com, Ameen mengatakan kala itu dia hanya punya waktu sepersekian detik untuk menyeret anak-anak tiarap ke tanah dan kemudian berlari untuk mengambil senjata. Pada saat dia kembali dengan membawa senjata, Taliban sudah pergi dan membawa adiknya bersama mereka.
Sejak itu, selama berhari-hari setelah itu, Ameen meminta bantuan para tetua desa untuk meyakinkan Taliban bahwa dia tidak bekerja sebagai penerjemah untuk tentara AS dari pertengahan 2004 hingga pertengahan 2007. Namun Taliban tidak mau menerima permohonan mereka. Mereka ingin membuat contoh dari mereka yang bekerja dengan “kaum kafir”.
Dua belas hari kemudian, Ameen menemukan mayat saudara laki-lakinya tanpa kepala di depan rumah pertanian keluarga, dengan catatan di bajunya: “Jangan bekerja dengan orang kafir lagi.”
Keterangan foto: Personel keamanan Afghanistan berjaga-jaga setelah serangan terhadap gedung-gedung pemerintah di provinsi Khost pada 12 Mei 2009 [File: Stringer Afghanistan/Reuters]
Sekarang, militer AS menarik diri dari Afghanistan dan diperkirakan akan pergi pada 11 September tahun ini. Ini selang 20 tahun serangan 9/11 yang menyebabkan perang di Afghanistan. Mereka akan meninggalkan ribuan warga Afghanistan yang bekerja untuk militer AS. Persoalannya, banyak dari mereka sekarang bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan atas apa yang dipandang Taliban berkolusi dengan musuh.
Bahkan sekarang, Ameen, (45 tahun), yang berbicara kepada Al Jazeera dengan nama palsu – dia tidak dapat menanggung risiko untuk dirinya sendiri dan keluarganya jika dia dapat diidentifikasi. Dengan senyum muram di wajahnya, dia berkata: “Kami dibiarkan sendiri; militer AS harus pergi suatu hari nanti.”