Jutaan Rakyat Korea Utara di Ambang Kelaparan

Korea Utara tengah menghadapi krisis pangan

AP
Warga memakai masker di Pyongyang, Korea Utara Selasa (28/4).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara terancam mengalami krisis pangan. Sejumlah faktor seperti sanksi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, penutupan perbatasannya dengan Cina akibat Covid-19, dan kekeringan pada 2020 yang diikuti oleh hujan topan potensi mengulang musibah kelaparan pada 1990an. 

Baca Juga


Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengakui masalah krisis pangan pada pertemuan Komite Sentral Partai Buruh beberapa waktu lalu. Kim mengatakan bahwa sektor pertanian telah gagal memenuhi rencana produksi, karena kerusakan akibat topan tahun lalu.

“Situasi pangan masyarakat sekarang menjadi tegang. Sangat penting bagi seluruh partai dan negara untuk berkonsentrasi pada pertanian,” kata Kim, dilansir Aljazirah, Kamis (1/7).

Seorang ahli Korea Utara dari SOAS University of London, Hazel Smith, berada di Korea Utara pada 1998 hingga 2001 untuk mengembangkan analisis data pertanian bagi UNICEF dan Program Pangan Dunia. Dia melukiskan gambaran tentang apa yang sedang terjadi.

“Anak-anak di bawah tujuh tahun, wanita hamil dan menyusui, kelompok lemah, lansia, ini adalah orang-orang yang kelaparan,” kata Smith.

Institut Pengembangan Korea di Seoul dalam sebuah laporan bulan lalu mengatakan, Korea Utara membutuhkan 5,2 juta ton makanan untuk 2020. Namun, sejauh ini Korea Utara hanya menghasilkan empat juta ton makanan. 

Impor makanan yang dilakukan oleh Korea Utara tidak akan menyelesaikan masalah krisis pangan. Negara itu akan mengalami kesenjangan pangan sebesar 780 ribu ton untuk 2020-2021. 

“Jika kesenjangan ini tidak cukup ditutupi melalui impor komersial dan/atau bantuan pangan, rumah tangga dapat mengalami masa sulit antara Agustus dan Oktober 2021,” kata FAO.

Badan anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) memperingatkan bahaya kelaparan yang mengancam masyarakat Korea Utara. Sekitar 10 juta orang di Korea Utara dianggap rawan pangan, dan 140 ribu anak di bawah 5 tahun menderita kekurangan gizi akut. 

"Tingkat kekurangan gizi dan kematian yang lebih tinggi diantisipasi untuk tahun 2021,” kata UNICEF dalam Laporan Situasi Kemanusiaan yang diterbitkan pada bulan Februari.

Sementara, hampir semua diplomat asing dan lembaga bantuan kini telah meninggalkan Korea Utara. Peneliti senior Human Rights Watch Lina Yoon mengungkapkan kesaksian dari seorang misionaris yang bekerja di Korea Utara. Menurut misionaris itu, ada lebih banyak pengemis, dan beberapa orang meninggal karena kelaparan di daerah perbatasan Korea Utara.

 

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan sanksi 2375 dan 2397 pada September dan Desember 2017, untuk membatasi impor minyak mentah dan produk minyak olahan Korea Utara.

Korea Utara telah dikenakan sanksi yang meningkat untuk program nuklir dan misilnya sejak 2006. Mantan Presiden AS Donald Trump memulai kampanye tekanan maksimum, mempelopori sanksi Dewan Keamanan dan menerapkan sanksi sepihak, yang bertujuan memaksa kepemimpinan Korea Utara menghentikan program rudal dan nuklirnya.

Langkah untuk menjatuhkan sanksi itu tidak memperlambat kemajuan nuklir Pyongyang. Trump kemudian mengubah taktiknya yaitu melakukan sejumlah pertemuan puncak dengan Kim.

"Sanksi tersebut tidak diterapkan dengan sempurna, tetapi tampaknya memenuhi tujuan dasar untuk menekan otoritas Korea Utara dengan memberikan pukulan serius terhadap ekonominya,” kata peneliti Kim Seok-jin dari Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, kepada kantor berita Yonhap.

Terhambatnya kemajuan ekonomi Korea Utara akibat sanksi semakin diperburuk oleh penutupan perbatasan dengan Cina untuk mencegah Covid-19. Beijing merupakan mitra dagang terbesar Korea Utara. Sekitar 90 persen perdagangan luar negeri Korea Utara berasal dari Cina. 

Setelah penutupan tersebut, impor Korea Utara dari Cina anjlok 81 persen pada 2020. Barang-barang yang memasuki Korea Utara dari Cina sebagian besar berupa pupuk dan minyak. Sementara persediaan medis, barang-barang rumah tangga dan bahan makanan masih ditangguhkan. 

“Saya telah mendengar bahwa ada ribuan kontainer yang terjebak di pelabuhan Cina yang dimaksudkan untuk pergi ke Korea Utara, namun mereka tidak pernah sampai. Beberapa dari barang-barang itu telah mencapai tanggal kadaluarsa,” kata CEO konsultan KoreaRisk dan penerbit NK News, Chad O'Carroll.

Berhentinya impor menyebabkan kekacauan di pasar Korea Utara. Menurut Daily NK, harga satu kilo beras di Pyongyang naik 22 persen dalam satu pekan pada Juni. Kontrol perdagangan juga berkontribusi pada lonjakan harga beberapa barang impor, misalnya harga sebotol sampo telah meningkat 10 kali lipat, atau mencapai 200 dolar AS.

Fluktuasi harga telah mendorong warga Korea Utara untuk mengubah kebiasaan makan mereka. Warga Korea Utara kini mengganti nasi dengan jagung, yang harganya lebih murah. Sementara itu, meningkatnya biaya kebutuhan sehari-hari membuat indeks kebahagiaan warga Korea Utara turun.

"Jika ini terus berlanjut, mungkin ada keraguan tentang kepemimpinan Kim Jong Un dan dia akan merasakan tekanan politik, yang tampaknya dia anggap sebagai ancaman," ujar Direktur Korea Utara di Pusat Penelitian Asia Timur Laut dari Institut Jurnal Jaringan Strategi Global, Kwon Tae-jin.

Di tengah pembatasan dan penguncian Covid-19, beberapa kelompok bantuan yang masih bekerja di Korea Utara hampir seluruhnya ditarik. Pekerja bantuan internasional terakhir yaitu milik UNICEF dan Palang Merah yang meninggalkan Pyongyang pada Desember 2020.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler