Muhammadiyah: Bagikan Kurban pada Warga Sangat Membutuhkan
IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyampaikan tausiyah menjelang Hari Idul Adha 1442 H. Dia mengatakan, berkurban hewan kurban adalah wujud ketaqwaan. Muslim yang beridul-adha dan berkurban dengan ikhlas, berarti dirinya naik derajat menjadi al-muttaquun, yakni orang-orang yang bertakwa.
Haedar menjelaskan, takwa adalah puncak segala keutamaan diri setiap muslim dan mukmin dalam menjalankan perintah Allah SWT, menjauhi larangan-Nya, serta menunaikan segala kebaikan hidup yang harmonis antara habluminallah dan habluminannas.
"Bukankah setiap Muslim ingin dimuliakan dan ditinggikan derajatnya di hadapan Allah? Orang bertakwa itulah yang derajatnya ditinggikan Allah sebagai insan mulia. Di era pandemi Covid-19 yang sangat berat saat ini, jiwa berkurban sangat tepat untuk dikembangkan dalam berbagai kebajikan," kata dia dalam pesan tertulis, Senin (19/7).
Ada beberapa bukti kaum Muslimin mempraktikkan jiwa berkurban dalam kehidupan nyata saat ini. Di antaranya, menegakkan disiplin protokol kesehatan, peduli terhadap sesama yang berkekurangan, membantu meringankan para dokter dan tenaga kesehatan, dan mengembangkan kebersamaan dalam mengatasi pandemi.
"Termasuk membagikan daging kurban bagi saudara-saudara kita yang sangat memerlukan. Esensi kurban ialah menebar kebaikan yang tulus dan bermakna," jelasnya.
Suatu kali Nabi Muhammad SAW ditanya, "Wahai Rasulullah SAW, apakah kurban itu?" Rasulullah menjawab, "Kurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim." Mereka bertanya, "Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan kurban itu?" Rasulullah menjawab, "Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan." Dan mereka bertanya lagi, "Kalau bulu-bulunya?" Rasulullah menjawab, "Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan." (HR Ahmad dan Ibn Majah)
Karena itu, Haedar mengajak untuk mewujudkan jiwa berkurban dalam segala kebaikan hidup. Lebih-lebih di masa pandemi yang banyak orang mengalami penderitaan jiwa, kesehatan, ekonomi, dan lainnya. Satu sama lain harus memiliki jiwa peduli, berbagi, dan beramal kebajikan, terlebih untuk orang-orang yang membutuhkan.
"Jangan egois merasa diri tidak terkena Covid, kemudian bersikap sombong dan tidak berdisiplin mengikuti protokol kesehatan, serta mencerca mereka yang disiplin dan taat aturan dengan tudingan penakut dan sejenisnya. Padahal agama mengajarkan keseksamaan sebagai bagian dari takwa dan ikhtiar mengatasi musibah," ungkapnya.
Haedar juga mengingatkan untuk senantiasa mengembangkan solidaritas sosial yang memupuk persaudaraan, toleransi, perdamaian, dan kebersamaan yang tulus sebagai sesama anak bangsa. Wujudkan secara luas kebiasaan gemar menolong, berbagi rizki, melapangkan jalan orang yang kesulitan, mengentaskan mereka yang lemah, membela orang yang terzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak, dan berbagai kebaikan sosial yang utama.
Semua kebaikan itu cermin dari ihsan yang diajarkan Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nahl ayat 90. Dalam ayat ini Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."
Setiap Muslim harus memberi kebaikan bagi sesama dan lingkungan secara melintasi tanpa diskriminasi. Bangun kebersamaan dengan sesama secara ikhlas dan bermanfaat. Sebagai wujud berkurban bagi kepentingan sesama, setiap muslim menghindarkan diri dari segala bentuk egoisme seperti bertindak semaunya sendiri, tidak mengikuti protokol kesehatan karena merasa diri aman, dan berbuat yang merugikan pihak lain.
Haedar mengajak untuk menjauhi sikap berlebihan dan tamak yang membuat kerusakan di muka Bumi, memupuk kekayaan dengan merusak alam dan merugikan masyarakat, monopoli, oligarki, korupsi, dan menyalahgunakan kekuasaan. Pasca Idul Adha, setiap Muslim perlu menyebarluaskan dan mempraktikkan ta'awun dan ukhuwah atau solidaritas sosial.
Hal itu sebagai budaya dan praksis sosial untuk membela kaum lemah, menyadarkan kaum kaya agar mau berbagi, dan menebar serbakebajikan dengan sesama yang bersifat melintasi. Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan melalui harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama.
"Praktik keagamaan dalam kehidupan sosial yang indah ini jangan mekar sesaat di kala ritual ibadah semata, tetapi harus mewujud dan menyebarluas sepanjang masa dalam kehidupan sebagai pantulan iman dan ihsan yang merahmati semesta alam," tutur Haedar.