Yunani Tutup 12 Sekolah Minoritas Turki Lagi di Trakia Barat
Turki mengecam Yunani atas penutupan sekolah
REPUBLIKA.CO.ID, KOMOTINI -- Yunani pada Senin (2/8) dinilai melanggar perjanjian lama dengan menutup 12 sekolah lagi yang melayani kelompok minoritas Muslim Turki di negara itu, dengan dalih jumlah siswanya terlalu sedikit.
Di bawah keputusan Kementerian Pendidikan, delapan sekolah di Rhodope (Rodop) dan empat sekolah di Xanthi (Iskece) di Trakia Barat akan ditangguhkan sementara – sebuah langkah yang diklaim Turki direncanakan secara sistematis dan seringkali terbukti berlangsung permanen.
Sebanyak 132 sekolah minoritas di negara itu telah ditutup secara sistematis sejak 2011, dan jumlah sekolah yang beroperasi di provinsi Rhodope, Xanthi, dan Evros telah turun menjadi 103, di mana para pejabat mengutip dugaan kurangnya siswa sebagai alasannya.
Orang Turki di Yunani marah
Keputusan Yunani untuk menutup sekolah minoritas adalah bagian dari "upaya terencana dan jahat terhadap minoritas," kata Dewan Konsultasi Minoritas Trakia Barat Turki dalam sebuah pernyataan. Dewan itu menekankan pendidikan minoritas dilindungi oleh perjanjian internasional, terutama Perjanjian Lausanne 1923, dan protokol yang ditandatangani antara Turki dan Yunani.
"Kami ingin menekankan kekecewaan dan protes kami terhadap praktik anti-demokrasi di negara kami, Yunani. Pemerintah saat ini tidak peka terhadap tuntutan adil yang telah disuarakan selama bertahun-tahun mengenai pendidikan minoritas," lanjut pernyataan dewan itu.
"Keputusan penutupan sekolah yang diumumkan tahun ini diterbitkan pada saat seluruh wilayah sedang berlibur. Ini sama saja memperjelas bahwa keputusan itu adalah bagian dari upaya terencana dan jahat terhadap Minoritas Turki Trakia Barat," ujar mereka.
"Kami mengutuk dan tidak menerima perlakuan seperti ini, yang tidak cocok untuk hubungan antar manusia maupun untuk demokrasi pluralis," tegas dewan itu.
Lebih dari separuh sekolah minoritas ditutup
Turki juga mengutuk langkah itu, dengan mengatakan kebijakan seperti itu telah menutup lebih dari setengah sekolah dasar (SD) minoritas di Yunani.
"Kebijakan Yunani untuk menutup SD milik Minoritas Turki Trakia Barat melalui penangguhan sementara telah terbukti dilakukan secara sistematis," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Turki.
"Selain itu, dalam hukum baru-baru ini yang mencakup sekolah-sekolah di Yunani, kami telah mengamati bahwa sekolah-sekolah minoritas dikecualikan dari banyak pasal, yang merupakan tindakan diskriminasi," tambah Kemlu Turki.
Pernyataan itu juga mengatakan keputusan itu melanggar Perjanjian Lausanne dan merupakan tanda lain dari "kebijakan asimilasi dan penindasan" terhadap orang Turki di Trakia Barat selama beberapa dekade.
Otoritas Turki juga juga menuduh Yunani mengabaikan tuntutan untuk membuka sekolah menengah/tinggi baru bagi minoritas, meski ada kebutuhan, sehingga Yunani dituding "melanggar hak pendidikan anak-anak minoritas" dengan berbagai dalih.
“Kami mengundang Yunani untuk mengakhiri kebijakan diskriminatifnya terhadap sekolah minoritas, seperti yang terlihat dalam undang-undang terbaru,” ujar pernyataan itu, menekankan bahwa Turki “akan terus mendukung perjuangan minoritas untuk hak dan hukum mereka” dalam pertemuan bilateral serta platform internasional.
"Masyarakat internasional seharusnya tidak lagi menjadi penonton pelanggaran sistematis HAM di negara anggota Uni Eropa," kata mereka.
Minoritas Turki tertindas
Wilayah Trakia Barat Yunani - di timur laut negara itu, dekat perbatasan Turki - adalah rumah bagi minoritas Muslim Turki yang telah lama tinggal di sana, berjumlah sekitar 150.000. Hak-hak orang Turki di Trakia Barat dijamin di bawah Perjanjian Lausanne, sebuah pakta yang dibuat setelah Perang Dunia I, tetapi sejak itu situasinya terus memburuk.
Setelah junta Yunani berkuasa pada 1967, orang-orang Turki di Trakia Barat mulai menghadapi penganiayaan yang lebih keras dan pelanggaran HAM oleh Yunani, yang sering kali secara terang-terangan melanggar keputusan pengadilan Eropa.
Minoritas Turki menghadapi masalah atas hak kolektif dan sipil serta pendidikan hingga sekarang, mulai dari melarang penggunaan kata “Turki” dalam nama organisasi, hingga mencoba menghalangi komunitas Turki untuk memilih imam-nya sendiri.