Taliban Bisa Rebut Kabul dalam Waktu 90 Hari

Menurut pejabat AS, Taliban dapat merebut ibu kota Afghanistan dalam 90 hari

AP/Mohammad Asif Khan
Milisi Taliban berdiri di titik pemeriksaan Kota Farah, ibu kota Provinsi Farah, sebelah barat daya Kabul, Afghanistan pada 11 Agustus 2021. Menurut pejabat AS, Taliban dapat merebut Kabul dalam 90 hari.
Rep: Antara Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Milisi Taliban dapat merebut ibu kota Afghanistan, Kabul, dalam waktu 90 hari setelah mereka bangkit kembali dan membuat lebih banyak kemajuan di seluruh negeri. Demikian dikatakan pejabat pertahanan Amerika Serikat (AS).

Pejabat pertahanan AS, yang berbicara kepada Reuters dengan syarat anonim pada Rabu, mengatakan penilaian baru tentang berapa lama Kabul dapat bertahan adalah hasil dari kemajuan cepat Taliban setelah pasukan asing pimpinan AS pergi. "Namun ini bukan kesimpulan yang sudah pasti," tambah pejabat itu. Ia mengatakan pasukan keamanan Afghanistan dapat membalikkan momentum dengan melakukan lebih banyak perlawanan.

Kelompok Taliban sekarang menguasai 65 persen wilayah Afghanistan dan akan mengambil alih 11 ibu kota provinsi, kata seorang pejabat senior Uni Eropa, Selasa. Faizabad, di provinsi timur laut Badakhshan, pada Rabu menjadi ibu kota provinsi kedelapan yang direbut oleh Taliban.

Pertempuran sangat intens di kota Kandahar, kata seorang dokter yang berbasis di provinsi Kandahar selatan. Kandahar menerima sejumlah mayat pasukan Afghanistan dan beberapa Taliban yang terluka.Semua pintu gerbang ke Kabul, terletak di lembah yang dikelilingi oleh pegunungan, dipenuhi warga sipil yang melarikan diri dari kekerasan, kata sumber keamanan Barat.

Sulit untuk mengatakan apakah kelompok Taliban juga berhasil melewatinya, kata sumber itu. "Ketakutannya adalah pelaku bom bunuh diri memasuki markas diplomatik untuk menakut-nakuti, menyerang, dan memastikan semua orang pergi secepat mungkin," ungkapnya.

Taliban ingin mengalahkan pemerintah yang didukung AS dan menerapkan kembali hukum Islam yang ketat. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price mengatakan serangan itu bertentangan dengan semangat kesepakatan 2020.

Baca Juga


Baca juga : Prediksi Jatuhnya Kabul ke Tangan Taliban dan Respons Biden

Taliban berkomitmen untuk melakukan pembicaraan tentang kesepakatan damai yang akan mengarah pada "gencatan senjata permanen dan komprehensif," kata Price pada Rabu.

"Semua indikasi setidaknya menunjukkan bahwa Taliban malah mengejar kemenangan di medan perang. Menyerang ibu kota provinsi dan menargetkan warga sipil tidak sesuai dengan semangat kesepakatan," katanya.

PBB mengatakan lebih dari 1.000 warga sipil tewas dalam sebulan terakhir. Komite Internasional Palang Merah mengatakan bahwa sejak 1 Agustus sekitar 4.042 orang yang terluka telah dirawat di 15 fasilitas kesehatan.

Taliban membantah menargetkan atau membunuh warga sipil dan menyerukan penyelidikan independen. "Taliban tidak menargetkan warga sipil atau rumah mereka di wilayah mana pun, melainkan operasi telah dilakukan dengan sangat presisi dan hati-hati," kata juru bicara Taliban Suhail Shaheen dalam sebuah pernyataan pada Rabu.

Pembicaraan Damai

Lepasnya Faizabad ke tangan Taliban merupakan kemunduran terbaru bagi pemerintahan Presiden Ashraf Ghani. Ia terbang ke Mazar-i-Sharif untuk mengumpulkan panglima perang untuk mempertahankan kota terbesar di utara itu saat pasukan Taliban semakin mendekat.

Selama bertahun-tahun, Ghani mengesampingkan para panglima perang saat dia mencoba memproyeksikan otoritas pemerintah pusatnya atas provinsi-provinsi yang bandel. Presiden AS Joe Biden mengatakan pada Selasa bahwa dia tidak menyesali keputusannya untuk menarik mundur pasukan AS dari Afghanistandan mendesak para pemimpin Afghanistan untuk memperjuangkan tanah air mereka.

Washington telah menghabiskan lebih dari 1 triliun dolar AS selama 20 tahun dan kehilangan ribuan tentara AS. Washington terus memberikan dukungan serangan udara, makanan, peralatan, dan gaji yang signifikan kepada pasukan Afghanistan, katanya.

"Afghanistan perlu menentukan apakah mereka memiliki kemauan politik untuk melawan dan apakah mereka memiliki kemampuan untuk bersatu," kata sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler