Sidebar

Mengapa 10 Muharram Dikatakan Lebaran Anak Yatim?

Sunday, 15 Aug 2021 10:04 WIB
Anak yatim piatu

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Muslim Indonesia sering merayakan lebaran anak yatim pada tanggal 10 Hijriah/Muharram. Perayaan tersebut ada yang menentang tetapi tidak sedikit pula yang melestarikan.

"Kalau Indonesia memang ramai budaya seperti ini, hampir setiap masjid serta  majlis taklim mengadakan perayaan  tahun baru Islam, disertai di dalamnya santunan anak yatim karena memang  bulan muharram, tepatnya tanggal  10  adalah lebarannya anak yatim," tulis Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya "Sejarah Kalender Hijriyah"

Ahmad Zarkasih mengatakan, tradisi ini  muncul karena banyaknya hadits-hadits perihal fadhilah menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram. Oleh karena itu, tanggal 10 Muharram seolah menjadi tanggal dan bulannya anak yatim.

"Sehingga banyak orang menyebutnya lebaran mengingat makna lebaran adalah hari bersenang-senang. Begitu juga di tanggal ini, anak yatim sedang senang-senangnya karena banyak yang sayang," katanya.

Ahmad Zarkasih mengatakan, di antara hadits-hadist tersebut ialah:

"Siapa orang yang menyusap kepala anak yatim (menyantuni/menyayangi) pada hari Asyura (10 Muharram), maka Allah akan angkat derajatnya sebanyak rambut anak yatim tersebut yang terusap oleh tangannya" (Hadits ke 212 dari kitab Tanbih al-Ghafilin).

Namun, hadits-hadits tentang keutamaan menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram itu dhaif alias lemah atau tidak shahih. Hal ini menjadikan beberapa kelompok Islam lainnya mengharamkan praktek ini.

"Bahkan mereka mengatakan itu adalah sebuah bid’ah, yaitu perkara yang mengada-ada dalam agama yang agama sendiri tidak memberikan tuntunan untuk itu," katanya.

Bagi mereka, menyantuni anak yatim itu ibadah yang tidak boleh dikhususkan pada waktu-waktu tertentu saja, akan tetapi itu adalah pekerjaan sepanjang masa.

"Mereka mengatakan memang benar  hadits itu dhaif, tapi apakah mengamalkan hadits dhaif itu mutlak diharamkan?"

Nyatanya ulama jumhur membolehkan  mengamalkan hadits dhaif dengan beberapa syarat. Imam  alNawawi  menyebutkan dalam kitabny Azkar  (hal. 8). Para ulama dari  kalangan ahli hadits dan ahli fiqih ada yang mengatakan.

"Boleh dan disukai mengamalkan hadits dhaif dalam perkara fadhail a’mal,  targhib (memotivasi) serta tarhiib  (memberikan peringatan) selama  haditsnya tidak maudhu (palsu)," katanya.

Karena, walaupun itu hadits dhaif, tapi  ada hadits lain yang menaunginya  secara umum, yaitu hadits keutamaan  menyantuni anak yatim secara umum tanpa mengkhsuskan hari. Artinya  praktek santunan anak yatim di hari  asyura dinaungi oleh hadits umum tersebut.

"Ulma jumhur mengamalkan hadits  dhaif Imam Nawawipun membolehkan selain yang disebutkan selama  memang ada hadits shahih yang menaunginya  walaupun secara umum," katanya.


Berita terkait

Berita Lainnya