ASI Eksklusif Pendorong Kuat Penurunan Prevalensi Stunting

Pendorong kuat lainnya: usia dan jenis kelamin, keberadaan ART merokok.

Republika/Mardiah
Pemberian ASI eksklusif diindikasikan sebagai pendorong kuat penurunan prevalensi stunting dibandingkan faktor lainnya. (Foto: ilustrasi Stunting)
Rep: Fauziah Mursid Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian ASI eksklusif diindikasikan sebagai pendorong kuat penurunan prevalensi stunting dibandingkan faktor lainnya. Hal itu didapat dari studi analisis dekomposisi program penurunan stunting 2018-2019 oleh Setwapres, bersama BPS bekerja sama dengan ICONS (Indonesian Center for Nutrition Studies) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

Baca Juga


Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres Suprayoga Hadi mengatakan selama 2018-2019 terjadi penurunan prevalensi stunting sebesar 3,13 persen, dari 30,8 persen menjadi 27,67 persen pada September 2019. "Penurunan ini menjadi sebuah harapan besar. Namun, penurunan tersebut menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak, terkait dengan faktor yang mendorong penurunan stunting pada tahun 2019," kata Suprayoga dalam siaran persnya, Selasa (24/8).

Karena itu, Setwapres bekerjasama dengan lembaga terkait melakukan analisa untuk melihat determinan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap penurunan prevalensi stunting. Sebab, hasil studi Analisis Dekomposisi Program Penurunan Stunting ini menjadi acuan pemerintah untuk mengambil kebijakan terkait penanganan stunting. 

“Hasil analisis studi dekomposisi dapat dijadikan salah satu acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun program kegiatan terhadap hal-hal yang memiliki kontribusi nyata dalam percepatan penurunan stunting sebesar 14 persen pada tahun 2024,” kata Suprayoga.

Pakar dari FKM Unhas Prof Abdul Razak Thaha mengatakan pemberian ASI eksklusif diindikasikan sebagai pendorong kuat penurunan prevalensi stunting di antara faktor pendorong lainnya. “Pendorong kuat lainnya antara lain: usia dan jenis kelamin, keberadaan ART merokok, fasilitas cuci tangan dengan air dan sabun, serta status sakit,” kata Abdul Razak.

Ia mengatakan, studi analisis juga menunjukkan adanya determinan pendorong kuat, sedang dan lemah terhadap penurunan prevalensi stunting di periode tersebut. Temuan menarik, di antaranya MPASI dan imunisasi menjadi faktor kontributor rendah dalam penurunan prevalensi stunting. 

Padahal, kata Razak, dua faktor ini sangat penting dalam  menjadi pendorong besar dalam penurunan prevalensi stunting. Mencermati penurunan prevalensi stunting 2018 ke 2019 disebabkan oleh faktor pendorong yang diidentifikasi dalam studi tersebut, ia mendorong pemerintah dapat mengakselerasi penurunan prevalensi stunting sampai 2014 melalui program-program yang berdasarkan penguatan variabel-variabel yang ada.

Razak juga menjelaskan, penurunan prevalensi berdasarkan studi analisis dekomposisi ini sangat beralasan dan terjadi di banyak negara. Sebab, menurut WHO, untuk mencapai target penurunan stunting global 40 persen tahun 2025, setiap negara hendaknya mencapai Annual Average Rate of Reduction (AARR) stunting sebesar 3,9 persen per tahun.

Sedangkan menurut Global Nutrition Report tahun 2020 menunjukkan stunting secara global saat ini mencapai AARR 2,2 persen. "Sebagai langkah ke depan, diperlukan analisa lanjutan atas hasil studi dekomposisi penurunan stunting ini agar indentifikasi terhadap faktor-faktor pendukung dan penghambat penurunan stunting dapat dilakukan lebih mendalam," katanya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
 
Berita Terpopuler