Literasi Digital Sebagai Counter Cyber Radicalization

Gerakan literasi perlu dilakukan konsisten untuk membentuk budaya melek digital.

Republika/Prayogi
Sejumlah anak membaca buku. (Ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam peringatan Hari Literasi Internasional 2021 pada bulan September ini, UNESCO mengusung tema Literacy for a human-centered recovery: Narrowing the digital divide, dengan menitikberatkan pada interaksi literasi dan keterampilan digital untuk menghapus kesenjangan literasi di tengah masifnya teknologi digital.

Hal ini tentunya harus kita sambut. Mengencarkan minat baca masyarakat untuk membangun literasi digital yang mumpuni di tengah distrupsi teknologi informasi. Meski tak mudah, tetapi gerakan literasi ini perlu dilakukan secara konsisten, untuk membentuk budaya melek digital guna mencegah radikal terorisme di Indonesia.

Dalam laporan Digital 2021 yang dilakukan We Are Social, disebutkan pengguna internet di Indonesia persentasenya cukup tinggi, yakni mencapai 73,7 persen dari 274,9 juta jiwa, dengan rata rata menghabiskan waktu selama 8 Jam 52 Menit di Sosial Media. Meskipun Indonesia memiliki intervensi digital yang baik, namun menurut data statistik UNESCO (2017), Indonesia berada di peringkat ke-60 paling rendah terkait tingkat literasi dari total 61 negara. Ini yang harus kita waspadai di tengah masifnya informasi, kita tidak memiliki kompetensi untuk menelaah informasi secara bijak.

Kurangnya kesadaran menggunakan media sosial dengan bijak membuat maraknya hoaks dan ujaran kebencian yang tentunya akan mempengaruhi persatuan dan stabilitas sebuah negara. Suka tidak suka, kemajuan teknologi komunikasi mempercepat proses radikal terorisme seseorang melalui sosial media. Bahkan di tengah kondisi pandemi wabah Covid-19, virus radikal terorisme terus menyebar di sosial media.

Munculnya Zakiah Aini, sebagai lone wolf terrorist pada Maret lalu, mengindikasikan bahayanya propaganda radikal terorisme di media sosial. Dengan mudahnya wanita muda berusia 25 tahun ini terkena self-radicalization. Zakiah secara aktif mencari konten-konten radikal terorisme di dunia maya.

Self-radicalization merupakan sebuah fenomena radikalisasi yang semakin meningkat terjadi di era digital. Fenomena ini terjadi karena terpaan internet yang semakin memudahkan individu untuk bersentuhan dan mendalami konten-konten radikal di dunia maya.

Zakiah tidak memiliki garis komando dan jaringan nyata, namun interaksi individu di dunia maya menjadikan dirinya lebih mudah terpapar dengan konten radikal terorisme tanpa harus berinteraksi secara langsung. Ya, internet sebagai ruang bebas, dapat dijadikan jaringan teroris untuk terus menggemakan propaganda terorisme sehingga paparan yang terus-menerus menjadikan seseorang terpapar propaganda radikalisasi dengan frekuensi lebih tinggi.


BNPT sebagai leading sector dalam penanggulangan terorisme, perlu mengembangkan pendekatan soft approach dalam mencegah aksi terorisme di Indonesia. Salah satunya dengan, mengembangkan konsep literasi digital dalam penanggulangan terorisme, khususnya terkait membangun imunitas diri terhadap virus radikal terorisme yang marak di media sosial.

Secara general, literasi digital adalah memberikan pemahaman, pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat komunikasi atau jaringan secara sehat, bijak dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari. Dengan memiliki pemahaman literasi digital yang baik, tentunya kita akan berfikir lebih matang untuk tidak mengakses, memproduksi, dan turut menyebarkannya hoaks, ujaran kebencian, propaganda terorisme yang menjadi ancaman bangsa. Dengan kata lain, literasi digital mampu menimbulkan kepekaan terhadap ancaman bangsa seperti hoaks, proxy war dan propaganda terorisme di media sosial.

Tak hanya penguatan regulasi, namun negara perlu untuk memperkokoh otoritasnya melalui literasi digital kepada masyarakat, sehingga penanggulangan terorisme tidak melulu melalui pendekatan hukum. Melainkan dengan membangun kesadaran literasi digital dalam aktivitas atau komunikasi sehari-hari di media sosial yang sejalan dengan ideologi bangsa. Masyarakat yang melek digital diharapkan mampu membentengi diri dari paham radikal terorisme.

Untuk mencegah proses radikal terorisme di media sosial, sedikitnya dibutuhkan 5 langkah pendalaman literasi digital sebagai bentuk counter cyber radicalization, yang disingkat menjadi 5 M. Pertama; Mengakses. Merupakan kemampuan untuk mengakses dan pemanfaatan penggunaan tekonologi komunikasi. Membangun kesadaran melek digital, untuk dapat beradaptasi dengan kondisi sosial dan teknologi saat ini.

Kedua, Memahami. Pemerintah perlu memberikan pengetahuan terkait pemahaman-pemahaman radikal terorisme yang berkembang di Indonesia. Mulai dari Negara Islam Indonesia (NII), Jemaah Islamiyah (JI), Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Ansharut Syariah (JAS), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia  Timur (MIT) dan kelompok lainnya. Pemerintah perlu membuat informasi terkait jaringan terorisme yang ada di Indonesia.

Ketiga, Memverifikasi. Pemerintah perlu mengencarkan informasi tentang pemahaman dasar memverifikasi informasi. Salah satunya dengan cara melakukan check and balance terkait informasi yang diterima. Sudah ada beberapa aplikasi yang dapat digunakan masyarakat untuk mengecek kesahihan informasi, seperti Google Reverse Image, Chatbotantihoaks, Hoaks Buster Tools, Turn Back Hoaks dan lain sebagainya.

Kemudian, Menyeleksi. Pemerintah perlu mendorong iklim komunikasi positif di sosial media, dengan melakukan pemblokiran terhadap konten yang mengandung radikal terorisme. Menurut Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigjen Pol Eddy Hartono, per 12 Maret 2021, terdapat 321 grup maupun kanal media sosial yang terindikasi menyebarkan propaganda radikal terorisme di mana 145 grup di antaranya berasal dari platform Telegram.

Sedangkan sepanjang tahun 2020, terdapat 341 konten siber yang terpantau menyebarkan propaganda radikal terorisme.Ya, pemerintah perlu lebih menggecangkan ikat pinggang untuk menyaring atau memblokir akun akun radikal berbau propaganda terorisme, terutama terhadap platform yang mudah disusupi oleh akun-akun anonim. Hal ini dibutuhkan sebagai bentuk warning kepada masayarakat terkait maraknya informasi yang beredar di sosial media.

Terakhir, Menganalisa. Masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk menilai keakuratan, kualitas, relevansi dari sebuah informasi. Kemampuan menganalisa sangat penting untuk tidak langsung percaya terhadap informasi yang beredar di sosial media.

Hal ini guna membangun pemikiran kritis dan rasa keingintahuan terhadap informasi yang diperoleh, sehingga tidak mudah diperdaya dengan judul berita yang bombastis, atau artikel yang tidak relevan. Dengan kata lain, langkah 5 M literasi digital mampu dijadikan sebagai ‘vaksin’ untuk membangun herd imunity terhadap virus terorisme di sosial media. Namun literasi digital tidak hanya menjadi tugas pemerintah, melainkan perlu adanya intervensi keluarga dan lingkungan sosial dalam mewujudkan masyarakat melek digital.

Dengan peran aktif berbagai lini, diharapkan masyarakat mampu bijak dalam bersosial media. Sehingga, masyarakat memiliki imun yang tangguh agar terhindar dari berita hoax, proxy, ujaran kebencian, dan intoleransi di sosial media.

PENGIRIM: Farabi Ferdiansyah, Mantan Jurnalis, Pengamat Kebijakan Terorisme di Mata Media. Farabi Ferdiansah adalah mantan jurnalis yang pernah bertugas di Timur Tengah, melakukan liputan khusus di Perbatasan Turki-Suriah, Yordania, Israel dan Palestina. Beragam penghargaan dan beasiswa jurnalistik pernah ia raih, di antaranya beasiswa di Amerika, Filipina dan Thailand. Saat ini, Farabi aktif di komunitas Mata Media, komunitas pegiat literasi digital.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler