DPR Setujui Pemberian Amnesti untuk Saiful Mahdi
Saiful Mahdi dinovis tiga bulan penjara karena mengkritik rekrutmen CPNS di kampusnya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR resmi menerima Surat Presiden (Surpres) terkait pemberian amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi. Hal tersebut disampaikan dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.
"Presiden mengajukan surat kepada DPR RI untuk meminta pertimbangan atas rencana pemberian amnesti kepada Saudara Saiful Mahdi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2 UUD 1945," ujar Muhaimin di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/10).
Kemudian, ia menanyakan kepada peserta rapat paripurna apakah permintaan amnesti tersebut bisa disetujui. Rapat paripurna menyetujui permohonan amnesti dan selanjutnya akan diberikan jawaban tertulis kepada Presiden Joko Widodo.
"Sehubungan dengan keterbatasan waktu, urgensi surat tersebut dan mengingat DPR akan memasuki masa reses saya meminta persetujuan dalam rapat paripurna hari ini terhadap permintaan pertimbangan presiden kepada DPR RI tersebut, apakah permintaan amnesti tersebut sebagaimana Surpres dapat kita setujui?" ujar Muhaimin dijawab setuju oleh para anggota dewan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Presiden Jokowi telah menyetujui pemberian amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi. Namun, Mahfud menyebut, saat ini proses amnesti tersebut masih menunggu pertimbangan DPR.
Mahfud menjelaskan, sebelum Presiden setuju memberikan amnesti, ia telah melakukan dialog dengan istri dan pengacara Saiful Mahdi pada tanggal 21 September 2021. Keesokan harinya, Mahfud menggelar rapat dengan pimpinan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) serta pimpinan Kejaksaan Agung.
"Saya katakan, kita akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Lalu tanggal 24 (September 2021) saya lapor ke Presiden, dan Bapak Presiden setuju untuk memberikan amnesti," kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/10).
Saiful Mahdi sendiri diputus bersalah hanya karena mengkritik proses rekrutmen CPNS di kampusnya. Kritik itu ia tulis melalui sebuah grup WhatsApp tertutup pada Maret 2019 lalu. Saiful Mahdi pun divonis hukuman tiga bulan penjara.
Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia yang ikut mengawal kasus Saiful Mahdi menyayangkan proses penegakkan hukum dengan UU ITE yang dinilainya serampangan ini. Ia menilai sangat ironis sekali, seorang dosen yang juga pejuang antikorupsi dan kebebasan akademik malah dipenjara.
"Kita datang ke kejaksaan hari ini bukan berarti ditundukkan, tetapi sebagai bentuk kepatuhan sebagai warga negara, namun di sisi lain kita akan berupaya untuk mencari jalan, melakukan perlawanan dan membuktikan ke publik bahwa kritik itu bukan hal yang haram, mudah dipidana meski lagi-lagi sistem kita sedang tidak sehat,” kata Syahrul.
Syahrul, yang mendampingi Saiful Mahdi dalam proses eksekusi menegaskan meskipun Saiful Mahdi menjadi korban ketidakadilan hukum, namun tetap taat hukum dan menghadiri panggilan Kejaksaan Negeri Banda Aceh untuk eksekusi. Melalui konferensi pers daring, keluarga dan para pendukung Saiful Mahdi yang terdiri dari akademisi, aktivis pro demokrasi, dan masyarakat sipil meminta Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi.
Permohonan untuk membebaskan Saiful Mahdi telah bergulir sejak ia ditetapkan menjadi tersangka pada 2019. Dukungan publik untuk membebaskan Saiful Mahdi juga tergambar dari 72 ribu tanda tangan petisi di platform Change.org.