Sidebar

Gus Baha Sosok Pemimpin yang Dirindukan PBNU

Sunday, 10 Oct 2021 19:30 WIB
Nahdlatul Ulama

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kiai muda asal Rembang, Bahaudin Nursalim atau lebih dikenal sebagai Gus Baha masuk dalam daftar nama calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bersaing dengan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jatim Hasan Mutawakkil Alallah, Ketua Umum PBNU saat ini (inkamben) Said Aqil Siradj, dan Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf.

Baca Juga


Ketua STAI Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Abdul Ghofur Maimun mengatakan, Gus Baha adalah sosok pemimpin yang dirindukan PBNU saat ini. Menurutnya, PBNU kini telah kehilangan figur pemimpin yang memiliki basis spiritual dan pendidikan yang kuat, khususnya intelektual klasik. 

“Kemunculan nama Gus Baha ini menunjukkan adanya rasa rindu warga NU akan sosok pemimpin yang dekat dengan masyarakat, memiliki basis pendidikan dan spiritual yang kuat, wajahnya merepresentasikan religiusitas, bukan politis,” ujarnya kepada Republika, Ahad (10/10). 

“Itu salah satu hal yang dirindukan publik, dimana pemimpin harus lebih mewakili organisasi keagamaan, bukan sebagai politisi,” sambungnya. 

Ahli tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini juga mengaku merindukan sosok yang pemimpin yang lebih dekat dengan agama dan umat, terlebih mereka yang memiliki latar belakang intelektual klasik yang kuat. 

 

Problem krusial lain yang perlu difokuskan oleh ketum selanjutnya adalah konsolidasi dengan warga NU, terutama di bidang pendidikan, karena saat ini pengelolaan dan pengembangan lembaga pendidikan NU masih sangat kurang, kata pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar itu. Masalah lainnya adalah ekonomi, mengingat masih adanya ketimpangan dan kurang meratanya perekonomian rakyat Indonesia, termasuk warga NU, sambung Gus Ghofur. 

“Maka dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu menegakkan pemerataan dan keadilan ekonomi,” ujarnya. 

Isu selanjutnya yang perlu difokuskan oleh kepemimpinan yang baru adalah tentang keagamaan, dimana kepentingan warisan agama dan intelektual Islam kerap diadu dengan sistem negara dan relasi internasional. “Maka dibutuhkan figur yang secara intelektual itu mapan, diakui, dan memiliki basis yang kuat di pesantren dengan ilmu agama yang mumpuni,” sambungnya. 

Berita terkait

Berita Lainnya