Filipina Tinjau Ribuan Kasus Pembunuhan dalam Perang Narkoba
Filipina mengakui kemungkinan ada pelanggaran dalam kampanye antinarkoba.
AP Photo/Ahn Young-joon
Rep: Rizky Jaramaya Red: Dwi Murdaningsih
REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Kementerian Kehakiman Filipina akan meninjau ribuan kasus pembunuhan dalam operasi perang melawan narkoba di bawah kebijakan Presiden Rodrigo Duterte. Departemen Kehakiman (DOJ) pada Rabu (20/10) merilis rincian tentang 52 kasus pembunuhan terhadap pengedar narkoba oleh polisi.
Baca Juga
Filipina mendapat tekanan dari PBB untuk menyelidiki tuduhan pembunuhan sistematis terhadap tersangka narkoba. Ketika ditanya oleh Reuters apakah Filipina akan memperluas penyelidikannya ke dalam perang melawan narkoba, Menteri Kehakiman Menardo Guevarra mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan.
"Jika waktu dan sumber daya memungkinkan, DOJ akan meninjau ribuan kasus ini juga," ujar Guevarra.
Peninjauan kembali tersebut menandai bahwa negara melakukan pengakuan atas kemungkinan terjadi pelanggaran dalam kampanye anti-narkoba. Dalam beberapa kasus yang diselidiki DOJ, mereka yang tewas tidak memiliki jejak bubuk mesiu di tangan mereka, atau tidak memiliki senjata sama sekali.
Kementerian Kehakiman juga mengatakan, polisi telah menggunakan kekuatan berlebihan, dan menembak tersangka dari jarak dekat. Selain itu, catatan medis yang relevan dan rekaman polisi telah hilang.
Kasus-kasus itu akan menjalani penyelidikan lebih lanjut. Sementara, pengembangan kasus kemungkinan dapat mengajukan tuntutan pidana terhadap petugas.
Secara resmi, polisi telah membunuh lebih dari 6.000 orang dalam operasi melawan narkoba. Tetapi para aktivis mengatakan, ribuan pengguna narkoba lainnya terbunuh oleh orang-orang bersenjata misterius. Polisi telah membantah terlibat dalam kematian itu.
Sebelumnya, Kepala Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet, telah mendesak Filipina untuk mempublikasikan temuannya terhadap 52 kasus pembunuhan dalam operasi perang melawan narkoba. Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) menyetujui penyelidikan resmi terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Presiden Duterte dalam perang melawan narkoba.
Dalam sebuah pernyataan, ICC mengatakan para hakim telah menyetujui permintaan jaksa untuk menyelidiki dugaan pembunuhan di luar hukum dalam kampanye anti-narkoba Duterte. Hakim ICC menyampaikan, kampanye perang melawan narkoba tidak dapat dilihat sebagai operasi penegakkan hukum yang sah, melainkan lebih mengarah pada serangan sistematis terhadap warga sipil.
"Duterte dan pengikutnya harus bertanggung jawab atas kejahatan ini," ujar keputusan ICC.
Permintaan otorisasi untuk menyelidiki kasus terhadap Duterte diajukan 14 Juni lalu oleh Fatou Bensouda, yang saat itu menjabat sebagai kepala jaksa ICC. Kampanye anti narkoba merupakan salah satu program Duterte ketika menjabat sebagai Presiden Filipina mulai 2016 lalu.
Saat itu, Duterte meluncurkan penangkapan besar-besaran terhadap para pengedar dan pengguna narkoba. Duterte memberi kewenangan polisi untuk membunuh setiap anggota kriminal dan pengguna obat-obatan terlarang.
Pada 2018, Duterte memutuskan penarikan Filipina dari Statuta Roma. Penarikan tersebut mulai berlaku pada 17 Maret 2019. Sejak itu, Duterte telah berulang kali mengatakan bahwa dia tidak akan bekerja sama dalam penyelidikan ICC.
Duterte menganggap ICC tidak memiliki yurisdiksi di Filipina, karena negara Asia Tenggara itu telah menarik diri keluar dari anggota mahkamah tersebut. Namun ICC mengatakan, pihaknya masih memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan Duterte sejak November 2011 hingga Maret 2019, yaitu periode ketika Filipina masih menandatangani Statuta Roma.
sumber : reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler