Bahasa Isyarat dalam Shalat Jum’at
Aksesbilitas dalam shalat Jum'at khusus bagi para jemaah difabel.
Ibadah shalat Jumâat merupakan kewajiban bagi kaum Muslim laki-laki. Pada umumnya, prosesi shalat Jumâat digelar pada hari Jumâat, di waktu zuhur, dan diisi oleh khutbah seorang khatib yang berisi penjabaran isi al-Qurâan-Hadis atau siraman rohani. Namun, bagaimana jadinya jika khatib Jumâat yang menyampaikan pesan-pesan inti ajaran Islam itu, tidak dilakukan hanya seorang, melainkan dua orang?
Itulah yang sebenarnya terjadi di Masjid Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dimulai sejak 3 Januari 2014 sampai sekarang, khatib Jumâat selalu dibantu oleh penerjemah bahasa isyarat. Jika kita wajib mendengarkan khutbah dan mendapat berbagai pelajaran melalui khutbah tersebut, maka saudara-saudara difabel kita juga sebenarnya ingin mendapat hal serupa, terutama tuna rungu.
Upaya menghadirkan pengalih-isyarat dalam khutbah Jumâat yang terjadi di Masjid UIN Yogyakarta memang bukan yang pertama di dunia. Karena hal serupa sudah jauh-jauh hari terwujud di Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawwarah dan Masjid Al-Abrar, Terengganu, Malaysia. Adapun demikian, langkah berarti itu merupakan yang pertama di Indonesia.
Arif Maftuhin yang bertindak sebagai khatib utama, setelah mengucapkan kalimat pembuka khutbah dan menjelaskan mengenai keunikan dari rancangan arsitektur Mesjid UIN Sunan Kalijaga, berupa pemaparannya soal fasilitas yang nyaman bagi jemaâah difabel (different abilities people), menegaskan bahwa arsitektur itu dibangun demikian bukan tanpa alasan. Dosen Fakultas Dakwah UIN Yogyakarta itu juga menambahkan bahwa seyogianya setiap mesjid harus mempunyai keterbukaan sehingga masjid menjadi ramah untuk semua kalangan masayarakat, termasuk sahabat-sahabat kita yang difabel (mempunyai dengan kemampuan berbeda).
Sementara itu Galih Aulia Rahman selaku penerjemah ke dalam bahasa isyaratâyang berstatus sebagai mahasiswa UINâterus berkonsentrasi menangkap maksud dari khatib, untuk kemudian disampaikan dengan bahasa isyarat kepada jamaah difabel. Karenanya sahabat-sahabat difabel, bisa mengikuti ibadah mingguan tersebut dengan nyaman dan berarti. Karena sebelumnya mereka mengikuti shalat dan khutbah Jumâat dalam kesunyian serta tidak bisa memahami sedikit pun dari apa yang disampaikan khatib.
Suasana ibadah Jumâat pada awal Tahun itu, jelas sangat berbeda dengan Jumâat-Jumâat sebelumnya. Terutama bagi para jemaâah difabel. Di mana terdapat semacam rantai penyampaian materi khutbah yang begitu mengalir dan dapat dipahami oleh berbagai jenis Jamaâah. Tidak ketinggalan hal baru itu dirasakan juga oleh para jemaâah pada umumnya, yang menganggap ibadah Jumâat itu sebagai Jumâat unik dan juga âheroikâ.
Sebagai ketua pusat layanan studi difabel, Arif Maftuhin menjelaskan, para ulama sepakat bahwa sahalat Jumâat merupakan sebuah kewajiban untuk setiap laki-laki baligh, termasuk di dalamnya mendengarkan khutbah sang khatib. Akan tetapi bagaimana kiranya dengan saudara-saudara kita yang tunarungu? Aapakah Jumâatnya sah atau tidak? Mengingat mendengarkan serta menyimak khutbah termasuk dalam rukun Jumâat dan wajib hukumnya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, baik mahasiswa atau dosen rasanya sepakat bahwa mereka akan mendapat rukhshah (dispensasi/keringanan)âlanjut sang khatib. Umumnya berbicara mengenai rukhshah akan selalu terkait dengan permasalahan kewajiban ibadah seorang hamba kepada Tuhan-nya. Tetapiâsebenarnyaâperkara ibadah tidak hanya soal kewajiban. Dalam konteks hubungan antara warga dan Negara, ibadah adalah âhakâ. Sebagaimana di Negara ini, ibadah adalah hak konstitusional yang dijamin dalam UUD pasal 29. Konsekuensinya sebagai pengelola negara atau ulil amri, ibadah harus dipahami sebagai âhakâ bukan âkewajibanâ. Begitu juga yang seharusnya terjadi dalam lingkungan masjid beserta pengelolanya.
Maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah Negara sudah melindungi hak ibadah warganya? Demikian juga, apakah pengelola mesjid (takmir) sudah memenuhi hak para jemaâahnya? Lebih jauh dapat pula dipertanyakan, apakah hak sahabat-sahabat tunarungu untuk mendengarkkan khutbah Jumâat sudah bisa dipenuhi?
Pertanyaan itulah yang terus merayu dan memotivasi Arif Maftuhin beserta jajaran pengusrus Masjid UIN Yogyakarta, untuk membentuk aksesbilitas dalam shalat jumâat khusus bagi para jemaâah difabel. Sehingga aksesbiltas bagi difabel tidak saja dalam bentuk fisik, sebagaimana telah tercermin dari rancangan arsitektur masjid yang ramah difabel. Tetapi merambah kepada pengalih-isyarat bagi jemaâah difabel. Berkenaan dengan hal itu, dalam penutup khutbahnya sang khatib berwasiat supaya langkah berarti itu diteladani dan dibudayakan di masjid-masjid yang lainya.
Namun sampai hari ini, menurut pengamatan saya, termasuk juga penelitian yang dilakukan melalui judul Masjid dan Ruang Spiritualitas bagi Difabel, upaya menuju pemenuhan hak mendapat fasilitas ibadah yang bisa dinikmati secara optimal bagi jamaah yang beragam, masih rendah. Pola pikir pembangunan masjid masih teramat langka menyertakan misi ramah difabel. Apalagi sampai menghadirkan penerjemah bahasa isyarat minimal dalam shalat Jumâat.
Semoga, ke depan kesadaran pada perbedaan dan keragaman dalam diri setiap Muslim Indonesia terus meningkat dan meluas. Kajian dan kesadaran terhadap isu toleransi dan pluralisme agama, tidak mentok pada perdebatan teoritis yang sempit. Tapi semoga semakin terbuka celah-celah kreativitas yang berdampak besar pada sesama umat beraga yang teramat beragam di bumi Indonesia.