Pesan Mbah Moen: Jangan Malu Jadi Jawa, Lihatlah Mbah Fadhol

KH Abul Fadhol Senori dikenal sebagai sosok alim dan zuhud

Republika/Putra M. Akbar
KH Abul Fadhol Senori dikenal sebagai sosok alim dan zuhud. Ilustrasi
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Abul Fadhol Senori atau akrab disapa Mbah Fadhol. Tokoh ini dikenang sebagai seorang ulama besar dari kalangan Ahlus sunnah waljama'ah (Aswaja). 

Baca Juga


Pengarang kitab Al-Kawakibul Lama'ah ini juga pernah berguru pada Hadrastus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Oleh karena itu, dirinya mewariskan semangat keaswajaan dari sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut. Melalui antara lain karyanya itu, ia berkomitmen untuk terus menjaga akidah umat. 

Kiai Abul Fadhol Senori adalah seorang dai yang masyhur pada masanya. Ia termasuk pendakwah dengan kedalaman ilmu dan wawasan yang luas. Dengan penuh ketekunan dan disiplin, dirinya menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam. Masyarakat juga mengenalnya sebagai seorang alim yang sangat zuhud. 

Sosok yang akrab disapa Mbah Fadhol ini dalam usia sepuhnya mencetak banyak ulama. Salah seorang muridnya yang di kemudian hari menjadi mubaligh besar ialah KH Maimun Zubair. Di samping itu, ada pula KH Abdullah Faqih Langitan, KH Dimyati Rois, dan lain-lain. Tidak mengherankan bila dai lama berkiprah di Tuban itu dijuluki sebagai gurunya ulama-ulama Nusantara.

Reputasinya tidak hanya ditunjang kiprahnya semasa hidup. Setelah ia wafat, namanya melambung tinggi seiring dengan kepopuleran kitab- kitab karangannya. Banyak buku yang ditulisnya kemu dian dijadikan sebagai rujukan utama di pesantren-pesantren Nahdliyin se-Indonesia.

“Ojo isin dadi wong Jowo, delok toh Mbah Fadhol Senori. Ora tahu ngaji ning Arab, tapi geneyo kok iso `alim ngalahno sing ning Arab. Alime koyok ngono, karangane kitab pirang-pirang,” begitu nasihat Mbah Maimun Zubair kepada para santrinya.

Arti petuah itu, Jangan malu menjadi orang Jawa. Lihatlah Mbah Fadhol. Beliau tidak pernah sekalipun belajar di Tanah Arab, tetapi kealimannya mengalahkan yang (belajar) di Arab. Betapa alimnya beliau. Kitab-kitab karangan beliau pun sangat banyak.”

Tokoh Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang, itu sedang menceritakan kehebatan gurunya, KH Abul Fadhol Senori atau Mbah Fadhol. Selama bertahun-tahun, dai yang wafat di Makkah al-Mukarramah pada 2019 lalu itu pernah menjadi murid Mbah Fadhol.

Mbah Fadhol merupakan salah seorang ulama besar pada masanya.Pribadinya juga dikenal zuhur, selalu bervisi ukhrawi, alih-alih duniawi.Kesehariannya sangat bersahaja.Untuk nafkah diri dan keluarganya, ia berdagang.Sebagian besar penghasilan disedekahkannya untuk keberlangsungan lembaga pendidikan yang diasuhnya, Pondok Pesantren Darul Ulum, Tuban, Jawa Timur.

Dilansir dari berbagai sumber, Mbah Moen mengisahkan betapa tawaduk gurunya itu. Pada hari wafatnya KH Zubair Dahlan-ayah Mbah Moen-pengarang kitab Al-Kawakibul Lama'ahini turut bertakziah. Ia hadir di tengah banyak orang. Dan, nyaris tak ada satu pun yang menyadadri bahwa dirinya termasuk ulama besar.

Tak ayal, saat itu banyak orang mengabaikannya. Apalagi, kopiah hitam yang dipakainya saat itu sudah kusam.Pakaian yang dikenakannya pun layaknya orang biasa. Orang-orang baru tahu kalau sosok itu adalah Mbah Fadhol setelah Kiai Maimoen Zubair memergokinya di tengah jalan. Mbah Moen pun langsung menciumi tangan gurunya itu dan mempersilakannya duduk di ruang depan.

Sebagai seorang ulama zuhud, Mbah Fadhol juga memiliki amalan rutin yakni mengkhatamkan Alquran dua kali dalam sehari atau 60 kali dalam sebulan dengan hafalan. Selain itu, putra KH Abdus Syakur tersebut juga terbiasa membaca kitab- kitab tebal sampai khatam dalam 10 hari. Alhasil, dirinya bisa menghafal isi literatur itu. Tak heran bila Mbah Moen sendiri menyebut gurunya itu sebagai Kamus Berjalan.        

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler