Palestina: AS tak Perlu Izin Israel untuk Membuka Konsulat
IHRAM.CO.ID, YERUSALEM -- Otoritas Israel menolak atas rencana Amerika Serikat (AS) membuka kembali konsulatnya untuk Palestina di Yerussalem. Menurut Palestina, AS tidak memerlukan izin siapapun untuk membangun kembali konsulat AS di wilayah yang dicaplok Israel itu.
"Amerika Serikat tidak memerlukan izin Israel untuk membuka kembali konsulatnya untuk Palestina di Yerusalem," kata Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh pada Rabu (10/11).
Ia pun mendesak Washington untuk menghormati janji diplomatiknya. Pemerintahan Presiden Joe Biden mengatakan akan membuka kembali misi diplomatik yang secara historis bertanggung jawab atas urusan Palestina yang ditutup oleh pendahulunya Donald Trump, yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota tak terbagi Israel.
Misi itu berbasis di Yerusalem barat tetapi termasuk kantor layanan konsuler di Yerusalem timur yang dicaplok Israel, yang diklaim Palestina sebagai ibu kota negara masa depan mereka.
Perdana Menteri sayap kanan Israel, Naftali Bennett mengatakan kepada wartawan pada Sabtu lalu, bahwa tidak ada ruang untuk konsulat Amerika lainnya di Yerusalem. Bennett juga dengan jelas menyatakan pemerintahnya akan menolak langkah Washington untuk memulihkan misi Palestina. Menteri Luar Negeri Israel, Yair Lapid mengatakan bahwa Israel tidak akan keberatan dengan AS yang membuka misi di Ramallah, pusat Otoritas Palestina (PA).
Menurut PM Palestina, menegaskan bahwa Ramallah bukanlah ibu kota Palestina. "Ramallah bukan Yerusalem, dan Ramallah bukan ibu kota Palestina. Harapan kami apa yang dijanjikan (AS) akan terpenuhi,” katanya dilansir dari Alarabiya, Kamis (11/11).
Bennett menentang kenegaraan Palestina. Selain oposisi ideologisnya terhadap diplomasi Palestina di Yerusalem, pembukaan kembali misi AS juga akan mempersulit politik bagi perdana menteri Israel.
Jika Israel mengizinkan rencana konsulat AS untuk dilanjutkan, itu akan terlihat memperkuat klaim Palestina atas kota suci yang diperebutkan itu, sebuah posisi yang akan mengasingkan sekutu sayap kanannya, bahkan juga mengganggu koalisi delapan partai yang secara ideologis berbeda.
Shtayyeh juga menyerukan tindakan AS yang lebih keras terhadap perluasan pemukiman di Tepi Barat, wilayah yang sekarang menjadi rumah bagi sekitar 475 ribu orang Yahudi yang tinggal di komunitas yang secara luas dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Shtayyeh mengatakan, jika AS dapat memasukkan perusahaan Israel NSO Group ke daftar hitam atas produk spyware Pegasus yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Amerika, maka AS juga harus dapat memberi sanksi ekspor dari pemukiman.
Secara terpisah, beberapa hari setelah Bank Dunia mengangkat kekhawatiran tentang defisit anggaran PA, yang diperkirakan mencapai 1,36 miliar USD pada 2021, Shtayyeh mengatakan dia telah meminta bantuan dari delegasi kongres AS yang mengunjungi Ramallah pada Rabu kemarin.
"Amerika Serikat dulu juga mendukung defisit anggaran kami sepanjang tahun. Saya memang meminta anggota kongres hari ini untuk benar-benar membantu kami mengatasi masalah itu," katanya.