Negosiasi Batu Bara di KTT Iklim Masih Buntu

Negosiasi soal konsumsi batu bara dan kompensasi negara kaya masih menemui kebuntuan

AP/Steve Reigate/Pool Daily Express
Boris Johnson dari Inggris berbicara, selama upacara pembukaan KTT COP26 di Glasgow, Senin, 1 November 2021. Negosiasi soal konsumsi batu bara dan kompensasi negara kaya masih menemui kebuntuan.
Rep: Lintar Satria Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Negosiator di Konferensi Perubahan Iklim PBB atau COP26 di Glasgow, Skotlandia masih mencari titik temu untuk menghentikan konsumsi batu bara. Sementara negara-negara harus memperbarui janji mereka dalam memotong emisi terutama dalam masalah uang.

Menteri Kehutanan dan Perubahan Iklim Gabon Lee White mengatakan perundingan sedikit mengalami kebuntuan. Sementara itu Amerika Serikat (AS) didukung Uni Eropa menunda pembicaraan.

Pengamat dari Power Shift Africa Mohammed Adow mengatakan negara-negara miskin sangat kecewa dengan cara kepemimpinan Inggris dalam membuat rancangan dan membuat pembicaraan ini negosiasi 'negara-negara kaya'. Ia mengatakan negara miskin tidak dapat menerima apa yang telah diajukan.

Mendekati tengah malam, pandangan negara-negara kaya lebih optimistis, memberi petunjuk rancangan baru yang disampaikan Sabtu (13/11) akan memicu perpecahan. Melalui juru bicaranya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang memimpin rapat mengatakan ia yakin 'hasil ambisius sudah di depan mata'.

Pada Jumat (12/11) lalu Utusan Khusus Perubahan Iklim AS John Kerry mengatakan perundingan iklim 'berhasil'. Hal ini ia katakan setelah bertemu dengan Utusan Khusus Perubahan Iklim China Xie Zhenhua dan sebelum berbincang dengan menteri-menteri India di lorong.

"Saya pikir rancangan ini lebih dekat," kata Xie saat bertemu dengan Kerry di lorong.

Dalam percakapan yang sama, Kerry bertanya mengenai rancangan tersebut pada Xie. "Ya, saya merasa lebih baik mengenainya karena (Presiden COP26) Alok Sharma pria yang cerdas," jawab Xie.

Berdasarkan jadwal, COP26 sudah berakhir pada Jumat pukul 18.00 waktu setempat tapi belum ada kesepakatan yang dicapai. Terkadang hal itu membuat para diplomat lebih bersemangat membuat kesepakatan.

"Budaya negosiasi tidak membuat kompromi yang sulit sampai pertemuan memasuki babak tambahan, seperti yang sekarang kami lakukan," kata pengamat perundingan iklim Alden Meyer dari lembaga think-tank E3G.

"Namun kepemimpinan Inggris masih membuat banyak orang entah bagaimana tidak senang untuk mendapatkan kesepakatan komprehensif yang kami perlu dapatkan di Glasgow," tambahnya.

Baca Juga


Tiga poin yang membuat banyak pihak tidak senang yakni uang, batu bara, dan waktu. Masalah utamanya adalah bantuan keuangan untuk negara-negara miskin dalam menghadapi perubahan iklim.

Negara-negara kaya gagal memenuhi janji menggelontorkan bantuan tahunan sebesar 100 miliar dolar AS yang seharusnya dimulai 2020. Hal ini menyebabkan negara-negara berkembang datang ke negosiasi dalam keadaan marah.

Rancangan Jumat pagi mencerminkan kekhawatiran tersebut, mengungkapkan 'penyesalan mendalam' target 100 miliar dolar AS belum terpenuhi. Rancangan itu juga meminta negara-negara kaya menaikkan skala anggaran mereka untuk negara miskin mengurangi emisi dan beradaptasi dengan perubahan iklim, masalah yang juga dihadapi negara berkembang. Negara miskin mengatakan penyesalan saja tidak cukup.

"Jangan sebut mereka negara pendonor, mereka penghasil polusi, mereka berutang uang," kata ilmuwan iklim dan pakar kebijakan dari International Centre for Climate Change and Development di Bangladesh, Saleemul Huq.

Rancangan itu juga mengajukan penciptaan anggaran untuk mengganti kerugian dan kerusakan. Tujuannya adalah membantu negara-negara miskin memiliki sumber bantuan ketika mereka mengalami dampak menghancurkan perubahan iklim.

Namun negara-negara kaya seperti AS menentang setiap kewajiban hukum untuk memberikan kompensasi ke negara miskin. Padahal AS adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Namun White dari Gabon mengatakan negara-negara kaya terutama AS dan Uni Eropa mengatakan mereka belum siap. "Mereka mengatakan kami tidak akan pernah sepakat dengan itu, itu tidak akan bekerja, terlalu rumit," katanya.

Adow dari Power Shift Africa menganalogikan proposal anggaran tersebut seperti membuka rekening bank. "Kami tidak perlu mendorong uang ke rekening itu sekarang, kami hanya perlu membuka rekening," katanya.

Negosiator yang mewakili aliansi negara-negara pulau kecil di COP26, Lia Nicholson, mengatakan proposal itu seperti 'gajah di ruangan'. Ia mengatakan posisi negara-negara berkembang dan China 'bersatu' pada hal ini tapi negara kaya 'memukul mundur' proposal tersebut dengan keras.

"Negara-negara kepulauan kecil tidak bisa selalu diminta mengkompromikan kepentingan kami demi mencapai konsensus,” katanya.

Rancangan pada Jumat juga meminta negara-negara mempercepat menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak berkurang dan subsidi tidak efisien energi fosil. Rancangan sebelumnya pada Rabu (10/11) lebih keras.

Rancangan itu meminta negara-negara untuk mempercepat menghentikan pemakaian batu bara dan mensubsidi bahan bakar fosil. Kerry mengatakan Washington mendukung kata-kata yang sekarang digunakan.

"Kami tidak mengatakan mengeliminasi batu bara, (tapi) subsidi-subsidi itu harus pergi," kata Kerry pada diplomat lainnya.  

Kerry mengatakan 'definisi kegilaan' adalah menggunakan triliunan dolar untuk mensubsidi bahan bakar fosil di seluruh dunia. "Kami mengizinkan untuk memberikan makan setiap masalah yang kami coba selesaikan di sini, itu tidak masuk akal," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler