Masih Bergulat dengan Covid-19, Kongo Hadapi Wabah Campak

Pada 2020, lebih dari 6.000 warga Kongo meninggal akibat campak.

EPA
Anak-anak Republik Demokratik Kongo berjalan saat mengungsi setelah Gunung Nyiragongo meletus pada 26 Mei 2021. Kongo kini kembali berhadapan dengan wabah campak.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, KINSHASA -- Otoritas Republik Demokratik Kongo (DRC) pada Jumat (12/11) secara resmi mengumumkan wabah campak di provinsi Maniema timur. Wabah itu dikonfirmasi oleh sampel analisis dari Lembaga Penelitian Biomedis Nasional DRC.

Gubernur Maniema Affani Idrissa Mangala mengatakan, provinsi terkait telah melaporkan 458 kasus. Sebanyak 17 orang meninggal akibat campak di tengah pandemi Covid-19.

Pada 2020, campak telah menewaskan lebih dari 6.000 orang di Kongo (DRC), menjadikannya kasus epidemi terburuk di dunia. Sekitar 310.000 kasus campak diduga telah dilaporkan sejak Agustus 2018.

Cakupan imunisasi rutin yang telah dilakukan masih sangat rendah di seluruh wilayah Kongo. Sebanyak 25 persen dari kasus yang dilaporkan di negara itu pada 2020 terjadi pada anak di bawah lima tahun, yang memang paling rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin itu.

Sementara itu, Kongo juga tercatat sebagai negara dengan tingkat vaksinasi Covid-19 paling rendah di dunia. Kurang dari 0,1 persen dari 90 juta penduduknya menerima dosis lengkap vaksin Covid-19.

Di tengah ancaman meluasnya kasus campak, gubernur Maniema pun meminta masyarakat agar tetap waspada dan berkonsultasi dengan pusat kesehatan terdekat apabila mengalami demam, ruam kulit, konjungtivis, batuk, serta pilek atau bersin. Di Ibu Kota DRC Kinshasa, empat zona kesehatan juga dilanda wabah campak sejak akhir Agustus.

Campak juga sempat membuat penerbangan pengungsi Afghanistan ke Amerika Serikat terhenti pada September. Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki pada Jumat (10/9) mengatakan penangguhan penerbangan atas rekomendasi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) setelah ditemukan empat kasus campak.

Baca Juga



"Mereka saat ini sedang dikarantina sesuai dengan pedoman kesehatan masyarakat dan CDC telah memulai pelacakan kontak," kata Psaki dilansir Aljazirah, Sabtu (11/9).

Psaki mengatakan, semua warga Afghanistan yang tiba di Amerika Serikat diharuskan telah mendapatkan imunisasi wajib. Pihaknya juga menjajaki langkah-langkah untuk melakukan vaksinasi saat mereka masih di luar negeri.

Kendala vaksinasi dunia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, risiko wabah campak tinggi. Pasalnya, lebih dari 22 juta bayi pada 2020 tidak mendapatkan dosis pertama vaksin selama pandemi Covid-19.

Laporan kasus campak memang turun lebih dari 80 persen pada tahun lalu dibandingkan 2019. Namun, semakin tingginya jumlah anak-anak yang tidak divaksin membuat mereka menjadi rentan.

Dilansir Reuters, Kamis (11/11), sekitar tiga juta lagi anak tidak diberi vaksin campak pada 2020. Jumlah itu merupakan peningkatan terbesar dalam dua dekade hingga akhirnya mengancam upaya global untuk membasmi penyakit virus yang sangat menular tersebut.

"Jumlah besar anak-anak yang tidak divaksin, wabah campak, temuan penyakit dan diagnostik yang dialihkan untuk mendukung penanganan Covid-19 merupakan faktor yang meningkatkan kemungkinan kematian akibat campak dan komplikasi serius pada anak-anak," kata Kepala Imuninsasi CDC Kevin Cain.

Rekor kasus campak

Jumlah anak yang menderita campak pada 2019 mencapai rekor yang tertinggi dalam 23 tahun terakhir. Kabar ini diumumkan dalam data yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan CDC Amerika Serikat (AS) pada 2020.

Dalam sebuah penelitian, WHO dan CDC mengatakan, ada hampir 87 ribu kasus campak pada 2019, dengan jumlah kematian hingga 207.500. Angka ini menunjukkan peningkatan hingga 50 persen sejak 2016.

Salah satu dugaan penyebab peningkatan ini adalah penurunan vaksinasi yang signifikan. Anak-anak harus menerima dua dosis vaksin campak untuk mengindari penyakit yang sangat menular ini.

"Data menujukkan secara jelas bahwa kami gagal melindungi anak-anak dari campak di setiap wilayah di dunia," usar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pernyataan.

Dampak campak

Untuk mencegah wabah campak, WHO memperkirakan sekitar 95 persen populasi harus diimunisasi. Cakupan vaksinasi dengan menggunakan dua vaksin campak telah terhenti antara 70 persen hingga 85 persen secara global.

WHO dan CDC memperingatkan bahwa upaya global untuk menghentikan pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) juga telah mempersulit kampanye vaksinasi campak, yang memungkinkan penyakit itu menyebar lebih jauh. Kedua badan tersebut mengatakan bahwa pada November ada lebih dari 94 juta orang di 26 negara berisiko tidak bisa mendapatkan vaksinasi campak, karena kampanye vaksinasi campak yang dihentikan.

Banyak dari negara-negara tersebut menderita epidemi yang sedang berlangsung. Dari negara-negara dengan layanan imunisasi yang tertunda tahun ini, hanya delapan yang telah memulai kembali, yaitu di antaranya adalah Brasil, Republik Afrika Tengah, Kongo, Ethiopia, Nepal, Nigeria, Filipina, dan Somalia.

Campak kebanyakan menyerang anak balita dan bisa berakibat fatal pada mereka yang kekurangan gizi atau memiliki sistem kekebalan yang lemah. Lebih dari 95 persen kematian akibat campak terjadi di negara berkembang.

Bahkan, di seluruh wilayah Eropa, campak tercatat menyebabkan wabah besar setiap tahunnya. Campak merupakan salah satu penyakit yang diketahui paling menular, lebih dari Covid-19, Ebola, TBC, atau flu.

Campak bisa menjadi berbahaya bagi anak bayi dan anak kecil. Salah satu kemungkinan yang bisa ditimbulkan campak adalah komplikasi pneumonia.

Campak menyebar melalui batuk dan bersin dan dapat hidup di udara setelah orang yang terinfeksi batuk atau bersin hingga dua jam. CDC menyatakan, ketika seseorang tanpa kekebalan menghirup udara yang terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang terinfeksi, mereka dapat tertular virus dari keluarga paramyxovirus itu.

sumber : Antara, Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler