China Laporkan Tambahan 75 Kasus Covid-19, Nol Kematian

Sekitar 75 persen warga China telah divaksinasi, semuanya pakai vaksin dalam negeri.

EPA-EFE/WU HONG
Warga tampak memakai masker berjalan di Beijing, China, 5 November 2021. China menggulirkan strategi nol kasus Covid-19.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China melaporkan tambahan 75 kasus Covid-19 pada 12 November. Sehari sebelumnya, 98 kasus terkonfirmasi, menurut Komisi Kesehatan Nasional China, Sabtu.

Otoritas mengatakan bahwa dari jumlah tersebut ada 57 kasus lokal. Kasusnya terpantau turun dari 79 kasus dari sehari sebelumnya.

Kota pelabuhan Dalian di Provinsi Liaoning menyumbang 40 kasus baru lokal. Otoritas juga melaporkan 34 kasus tanpa gejala, yang tidak diperhitungkan sebagai kasus terkonfirmasi Covid-19.

China nihil kematian baru Covid-19. Jumlah korban meninggal secara keseluruhan tidak berubah, yakni 4.636 korban. Hingga 12 November, tercatat 98.174 kasus terkonfirmasi Covid-19 di China daratan.

Strategi nol kasus

Sementara itu, China melakukan upaya lebih untuk membuat negaranya menjadi nol kasus Covid-19. Sebuah kompleks bangunan luas setara dengan 46 lapangan bola pun belum lama ini dibangun di Guangzhou, selatan China.

Kompleks bangunan tiga lantai yang luas itu berisi sekitar 5.000 kamar. Bangunan itu dibuat sebagai pusat karantina yang dibangun pemerintah China untuk menampung warga yang datang dari luar negeri dengan harapan negara tersebut maju dengan pendekatan tanpa toleransi terhadap Covid-19.

Baca Juga



Dilansir laman Aljazirah pada Rabu (27/10), pemerintah lokal Guangzhou menjelaskan kompleks tersebut dilengkapi dengan infrastruktur teknologi komunikasi 5G dan kecerdasan buatan. Setiap kamar hanya dapat menampung satu orang pada satu waktu.

"Tiap kamar memiliki kamera di pintunya dan sistem pengiriman robot untuk meminimalkan kontak manusia dan risiko lintas-infeksi," kata pengantar pusat yang dikeluarkan oleh pemerintah Guangzhou.

Tim konstruksi membutuhkan waktu kurang dari tiga bulan untuk menyelesaikan proyek tersebut. Pembangunan ini hampir serupa dengan rumah sakit sementara Huoshenshan dan Leishenshan yang dibangun dalam waktu singkat di pusat kota Wuhan saat Covid-19 terjadi pada awal 2020.

Di sisi lain, pembangunan rumah sakit maupun pusat karantina menjadi pertanyaan mengapa China tidak melonggarkan strategi pandeminya di samping satu miliar penduduknya sudah divaksinasi penuh. Pemerintah China membangun lebih banyak fasilitas Covid-19 tanpa ada indikasi rencana melonggarkan pembatasan yang secara efektif mengakhiri pembatasan perjalanan internasional bagi warga di China.

"Di satu sisi, Anda memiliki ahli seperti Zhong Nanshan dan Gao Fu yang menyarankan begitu tingkat vaksinasi di China mencapai lebih dari 85 persen, maka sudah waktunya untuk membuka diri," kata seorang dosen Hubungan Luar Negeri di Dewan yang berbasis di Washington DC Yanzhong Huang.

Nama tersebut merujuk pada dua pakar kesehatan masyarakat terkemuka di China. Namun di sisi lain, menurut Huang, semua tindakan yang ada tampaknya menunjukkan bahwa Beijing akan mempertahankan strategi tanpa toleransi.

Setelah kampanye vaksinasi yang awalnya lamban, China telah sepenuhnya memvaksinasi sekitar 75 persen dari total populasinya dengan vaksin Covid-19 yang diproduksi di dalam negeri. China juga belum menyetujui penggunaan vaksin buatan luar negeri.

Asal usul virus penyebab Covid-19

Sebuah makalah yang ditulis oleh para peneliti dari University of Science and Technology of China dan University of Chinese Academy of Science menyebutkan virus corona tipe baru (SARS-CoV-2) telah menyebar di Amerika Serikat sejak September 2019. Virus penyebab Covid-19 itu diperkirakan menyebar tanpa terpantau di AS pada awal September 2019,

Peneliti memaparkan laporan tersebut dalam makalah pracetak yang diunggah di platform yang dikembangkan oleh Chinese Academy of Science (CAS), Kamis (23/9) malam. Makalah itu merupakan laporan hasil penelitian yang memadukan ilmu matematika dengan teknologi kecerdasan artifisial, serta analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap penularan penyakit.

Sudah divaksinasi, orang masih bisa kena Covid-19. - (Republika)

Para peneliti memilih 12 di lokasi di AS yang mewakili untuk diteliti guna menemukan kasus infeksi pertama pada Agustus-Oktober 2019 atau lebih awal dari data resmi tentang kasus pertama Covid-19 di AS pada 20 Januari 2020. Hasil penelitian mengindikasikan pandemi Covid-19 di AS dimulai sekitar September 2019 dengan tingkat probabilitas yang sangat tinggi.

Selain itu, penelitian tersebut juga merujuk pada kasus terkonfirmasi di Kota Wuhan dan Provinsi Zhejiang, China untuk mendapatkan kesimpulan mengenai waktu terjadinya Covid-19. Menurut para peneliti itu, penyebaran Covid-19 di China kemungkinan dimulai pada akhir Desember 2019.

Sebuah penelitian yang mengambil data dari Lembaga Kesehatan Nasional AS pada 2 Januari-18 Maret 2020 menunjukkan pada Juni terdapat tujuh warga di lima negara bagian yakni Illinois, Massachusetts, Mississippi, Pennsylvania, dan Wisconsin yang terinfeksi. Dari data tersebut, para peneliti China menyimpulkan kasus Covid-19 terjadi sebelum kasus pertama dilaporkan di AS pada 21 Januari 2020.

Mantan kepala Bidang Epidemiologi Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular China (CCDC) Zeng Guang mengatakan bukti-bukti dari penelitian itu mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memprioritaskan AS dalam penyelidikan tahap lanjut soal asal-usul Covid-19.

"WHO masih belum mengeluarkan cetak biru yang jelas untuk penyelidikan asal-usul virus corona tahap selanjutnya. AS harus menjadi prioritas utama dalam proses ini karena ada bukti bahwa virus tersebut telah beredar di negara itu beberapa bulan sebelum kasus pertama dan banyak laboratorium biologi rahasia," kata Guang seperti dikutip Global Times.

Guang juga mendorong WHO melacak orang-orang yang mengalami pneumonia di beberapa negara lain seperti Italia dan Spanyol, dua tahun lalu sebelum wabah itu merebak di Wuhan. Liang Wannian, ketua tim peneliti dari China dalam penyelidikan bersama tim pakar dari WHO di Wuhan pada awal 2021 mengatakan penelitian selanjutnya harus merujuk pada kerangka riset dan metode pengurutan asal virus seperti yang dilakukan di China.

"WHO harus melakukan penelitian di negara-negara tempat ditemukan limbah, serum, jaringan manusia atau hewan, atau swab dan sampel lainnya yang dinyatakan positif SARS-CoV-2 sebelum akhir 2019 untuk lebih memahami asal-usul virus di tempat-tempat tertentu yang memungkinkan penularan pada manusia," kata Wannian.

Beberapa penelitian mungkin telah diselesaikan sebagian atau didokumentasikan, kata dia menambahkan. Sebelumnya, WHO mendesak dilakukannya penyelidikan lagi di China untuk mengetahui lebih lanjut asal-usul Covid-19.

China menolak penyelidikan itu karena pada penyelidikan sebelumnya tidak ada laporan WHO yang menyebutkan virus corona berasal dari laboratorium biologi di Wuhan. Kasus pertama Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan antara akhir 2019 hingga Januari 2020.

Badan Intelijen Amerika Serikat (AS) mengatakan, pihaknya tidak akan pernah bisa mengidentifikasi asal-usul virus penyebab Covid-19. Namun, mereka menyimpulkan bahwa keberadaan virus tidak dibuat sengaja sebagai senjata biologis.

Dalam penelitian terbaru tentang asal virus Covid-19, dilansir dari BBC, awal November (2/11), Office of the Director of National Intelligence (ODNI) menyebutkan bahwa penularan dari hewan ke manusia maupun kebocoran laboratorium adalah hipotesis yang masuk akal tentang penyebarannya. Akan tetapi, tidak ada informasi yang cukup untuk mencapai kesimpulan yang pasti.

sumber : Antara, Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler