Pfizer Minta AS Setujui Paxlovid untuk Obat Covid-19
Pfizer berencana luncurkan paxlovid untuk obat Covid-19 pada musim dingin di AS.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Perusahaan farmasi Pfizer meminta regulator obat-obatan Amerika Serikat (FDA) untuk mengesahkan pil eksperimentalnya, paxlovid, untuk Covid-19. Otorisasi FDA diperlukan agar obatnya bisa diluncurkan saat musim dingin ini.
Permohonan Pfizer diajukan saat kasus Covid-19 meningkat lagi di Amerika Serikat. Ini terjadi di negara bagian karena cuaca yang lebih dingin mendorong lebih banyak orang Amerika berada di dalam ruangan.
Hasil uji coba memperlihatkan pil Pfizer terbukti secara signifikan mengurangi tingkat rawat inap dan kematian di antara orang-orang dengan infeksi virus corona tipe baru (SARS-CoV-2), virus penyebab Covid-19. Sementara itu, FDA saat ini sedang meninjau molnupiravir, obat dari rival Pfizer, yaitu Merck.
Pemberian pil Pfizer dikombinasi dengan pil antivirus ritonavir, dua kali sehari masing-masing tiga butir. Pfizer berencana memproduksi 180 ribu paket pengobatan paxlovid hingga akhir tahun dan minimal 50 juta paket hingga akhir tahun depan.
Perusahaan itu tidak menyebut secara rinci efek samping paxlovid, namun mengatakan kejadian ikutan muncul pada sekitar 20 persen pasien yang diuji. Efek samping yang mungkin terjadi di antaranya adalah mual dan diare.
Beberapa perusahaan farmasi yang lebih kecil juga akan mengajukan otorisasi untuk pil antivirus mereka sendiri dalam beberapa bulan mendatang.
"Kami bergerak secepat mungkin dalam upaya mendapatkan pengobatan potensial ini ke tangan pasien, dan kami berharap dapat bekerja sama dengan FDA AS dalam meninjau pengajuan ini," kata CEO Pfizer Albert Bourla, dalam sebuah pernyataan dilansir AP pada Rabu (17/11).
Secara khusus, Pfizer menginginkan obat tersebut tersedia untuk orang dewasa positif Covid-19 yang bergejala ringan hingga sedang dan berisiko sakit parah. Awal bulan ini, Pfizer melaporkan bahwa pilnya memangkas rawat inap dan kematian sebesar 89 persen di antara orang dewasa berisiko tinggi yang memiliki gejala awal Covid-19.
Pfizer melakukan studi atas pilnya terhadap orang yang tidak divaksinasi dan menghadapi risiko terburuk dari virus karena usia atau masalah kesehatan, seperti obesitas. Jika diizinkan, FDA harus mempertimbangkan menyediakan pil untuk orang yang divaksinasi tapi mengalami infeksi Covid-19 setelahnya karena mereka bukan bagian dari tes awal.
"Untuk hasil terbaik, pasien harus mulai meminum pil dalam waktu tiga hari sejak gejala muncul, sehingga perlu pengujian dan diagnosis yang cepat," ujar Bourla.
Pil buatan Pfizer adalah bagian dari jenis obat antivirus berusia puluhan tahun yang dikenal sebagai protease inhibitor, yang merevolusi pengobatan HIV dan hepatitis C. Obat tersebut memblokir enzim kunci yang dibutuhkan virus untuk berkembang biak di dalam tubuh manusia.
Pil Pfizer berbeda dari pil Merck, yang menyebabkan mutasi kecil pada virus corona hingga tidak dapat mereproduksi dirinya sendiri. Diketahui, FDA telah menyetujui satu obat antivirus lain untuk Covid-19, yaitu remdesivir, dan mengesahkan tiga terapi antibodi yang membantu sistem kekebalan melawan virus.
Bedanya, obat semacam itu biasanya harus diberikan melalui infus yang memakan waktu para profesional kesehatan. Obat antivirus tersebut juga persediaannya semakin terbatas akibat gelombang terakhir dari varian delta.
Walau demikian, Pemerintah AS telah berkomitmen untuk membeli pil Merck. Otoritas federal AS juga dikabarkan sedang bernegosiasi dengan Pfizer untuk membeli jutaan dosis pilnya.