China Tanggapi Isu Genosida Berkedok KB di Xinjiang

China mengklaim kebijakan KB di Xinjiang sejalan dengan aturan secara nasional

Antara/Galih Pradipta
Aktivis dari Indonesia Save Uyghur menggelar aksi teatrikal di depan kantor Kemenpora, Jakarta, Jumat (25/6/2021). Aksi tersebut digelar untuk mengecam perlakuan pemerintah China terhadap warga muslim Suku Uyghur di Xinjiang. China mengklaim kebijakan KB di Xinjiang sejalan dengan aturan secara nasional.
Rep: Fergi Nadira Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - China kembali membantah tudingan genosida terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang. Kedutaan Besar China di Jakarta mengadakan konferensi virtual mengenai Xinjiang bertema "Xinjiang Tempat yang Indah" untuk membantah berbagai tuduhan termasuk pelanggaran hak asasi manusia.

"Segelintir negara Barat telah merekayasa kebohongan terkait Xinjiang dengan tujuan menyesatkan masyarakat internasional dan menghambat kemajuan China," ujar Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian dalam Acara Presentasi Virtual Soal Xinjiang, Kamis (18/11).

Qian mengatakan Xinjiang adalah daerah otonom etnik minoritas di China yang sepanjang sejarahnya telah menjadi daerah etnis di mana rakyatnya hidup bersama dengan budaya dan agama yang berdampingan. Ia mengeklaim dalam beberapa dekade terakhir Xinjiang telah mewujudkan pencapaian besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Qian menjelaskan telah terjadi perkembangan pesat pada program-program pemerintah lokal di bidang etnis, agama, dan kebudayaan di Xinjiang. Namun pada saat bersamaan, Xinjiang juga mengalami penderitaan mendalam akibat separatisme, ekstremisme, kekerasan, dan terorisme.

Xinjiang pun mengadopsi tindakan keras berdasar hukum untuk mencegah dan memberantas terorisme dan ekstremisme. Hal ini dilakukan demi semaksimal mungkin melindungi hak-hak asasi segenap rakyatnya dari gangguan terorisme dan ekstremisme.

"Berbagai masalah terkait Xinjiang pada dasarnya adalah masalah anti-separatisme, anti-kekerasan, anti-terorisme, dan deradikalisasi, sama sekali bukan masalah HAM, etnik, ataupun agama," tegas Qian.          

Dalam tuduhannya kepada Barat, China menganggap Barat khawatir akan kepentingan mereka sendiri. Menurutnya dalam beberapa ratus tahun terakhir negara-negara Barat telah menggunakan keunggulan ekonomi dan teknologi mereka untuk menjarah dan menjajah banyak negara berkembang dalam jangka panjang.

Menurut Qian, Barat menggunakan 'kedok' seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan lainnya untuk menghambat kemajuan negara-negara berkembang. "Sebagai sesama negara berkembang, China dan Indonesia sama-sama memiliki sejarah pahit penjajahan dan penjarahan di bawah kolonialisme Barat," katanya.

Baca Juga


Qian menyebut China dan Indonesia perlu berteguh dalam mendukung satu sama lain dalam isu anti-terorisme dan anti-separatisme. Kedua negara juga harus berkoordinasi dan bekerja sama erat dalam urusan internasional dan regional serta bersama melindungi kedaulatan nasional, keamanan nasional, dan kepentingan bersama negara-negara berkembang.

Qian memuji persahabatan Indonesia dan China yang telah terjalin sejak lama dalam berbagai bidang terutama di bidang agama dan sosial budaya antar kedua pihak. Dia mengaku banyak kolega dan berbagai pihak dari Indonesia mengunjungi China untuk berkomunikasi dengan para cendikiawan Muslim China.

"China menyambut lebih banyak sahabat-sahabat Indonesia dari berbagai kalangan untuk mengunjungi Xinjiang kelak setelah pandemi ini terkendali demi menyaksikan sendiri bagaimana perkembangan dan perubahan yang terjadi di sana," jelasnya.    

Untuk menunjukkan bantahan terhadap tudingan internasional terhadap kamp-kamp konsentrasi, kedutaan Besar China di Jakarta dalam konferensi virtual menampilkan video yang menampilkan rakyat di Xinjiang, masjid, dan pengakuan perempuan di wilayah tersebut.

Baca juga : China: Aksi Tembak Meriam Air ke Kapal Filipina Sudah Tepat

"Saya telah mengandung dan melahirkan dua orang anak, dan saya sangat bersyukur pemerintah membantu saya," ujar Representative of Village Women Affairs in Ahu Township, Atush City, Kirgiz Autonomous Prefecture of Kizilsu, Xinjiang, Ayqamar Tursun.

Tursun mengatakan pemerintah China juga mendukung perempuan di daerah ini untuk mendapatkan pekerjaan dan keahlian lain untuk bertahan hidup. Dia pun mengenalkan beberapa perempuan yang tengah melakukan kegiatan bersama seperti menyulam dan berdandan.

China Klaim Kebijakan KB Sesuai Aturan

China membantah pemberlakuan program keluarga berencana paksa di kalangan perempuan dari kelompok masyarakat minoritas Muslim di Xinjiang. Menurut pejabat China, kebijakan KB di Xinjiang sejalur dengan program yang telah ditetapkan secara nasional di seluruh China.

"Kebijakan Keluarga Berencana (KB) di Xinjiang dirumuskan sesuai dengan kebijakan keluarga berencana nasional. Kebijakan KB diadopsi di Xinjiang bertahun-tahun lalu," ujar Vice President Association for Science and Technology in Xinjiang Uygur Autonomous Region, Gulnar Obul dalam kesempatan Presentasi Virtual Soal Xinjiang, Kamis (18/11).

Obul mengatakan program KB di Xinjiang diberlakukan bagi etnis minoritas, terutama yang tinggal di bagian selatan Xinjiang. Dia menjelaskan pada awalnya kebijakan KB China pertama kali diadopsi di daerah budaya dan perkotaan dan kemudian digulirkan ke perbatasan etnis minoritas dan daerah perdesaan.

"Implementasi kebijakan KB ternyata kemudian lebih banyak, di berbagai wilayah, dan di Xinjiang, baik di perkotaan maupun perdesaannya, kebijakan keluarga berencana yang seragam telah diadopsi di provinsi ini," ujarnya.

Pada Juni lalu, The Australian Strategic Policy Institute (ASPI) melaporkan pihak berwenang di Xinjiang meluncurkan serangkaian tindakan keras terhadap kelahiran ilegal untuk mengekang angka kelahiran di antara wanita Uighur dan minoritas lainnya. Mereka yang terbukti melanggar kebijakan keluarga berencana menghadapi denda besar, hukuman disiplin, interniran, termasuk pemasangan spiral, kontrasepsi lainnya, dan bahkan aborsi serta sterilisasi.

"Kelahiran ilegal yang terjadi pada awal tahun 1992 dihukum secara retrospektif," kata laporan itu seperti dikutip laman Times of India, Kamis.

Akibatnya, tingkat kelahiran resmi Xinjiang turun hampir setengahnya (48,74 persen) dalam dua tahun antara 2017 dan 2019. Namun di luar Xinjiang, negara bagian lain berusaha untuk meningkatkan angka kelahiran dengan mencegah perempuan Han melakukan aborsi non-medis.

Baca juga : Kapan Airbus A400M Tiba di Indonesia? Ini Jawaban TNI AU

Laporan ASPI mengamati kampanye massa yang ditujukan untuk penataan kembali politik bukanlah artefak dari masa lalu. Sebaliknya, mereka terjadi pada saat masyarakat China lebih erat terhubung dengan dunia daripada sebelumnya dan mengikuti garis ras dan agama di Xinjiang dengan dampak sosial yang mendalam.

Ini menyimpulkan bahwa tanpa perhitungan mendasar di dalam sistem partai-negara, kebijakan kampanye di Xinjiang tidak mungkin sepenuhnya dibatalkan. China telah lama melancarkan kampanye bertahun-tahun melawan apa yang disebutnya terorisme dan fanatisme agama di Xinjiang. Pemerintah memandang kamp-kamp konsentrasi adalah untuk memberantas ekstremisme dan mengajarkan keterampilan kerja.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler