Mafia Tanah Jadi Sorotan Lagi, DPR: Pemerintah Harus Tegas

Ketua DPR menilai kasus mafia tanah sangat merugikan rakyat.

DPR RI
Ketua DPR RI Puan Maharani
Rep: Febrianto Adi Saputro, Bambang Noroyono, Antara Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus mafia tanah kembali menjadi perhatian publik, terlebih setelah menimpa artis Nirina Zubir. Desakan agar pemerintah bersama aparat penegak hukum untuk memberantas aksi-aksi mafia tanah terus bermunculan.

Baca Juga


Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti maraknya kasus mafia tanah yang dinilai merugikan masyarakat belakangan ini. "Tanah adalah sumber penghidupan. Mereka yang merampas tanah adalah perampas penghidupan orang. Harus diberantas!" kata Puan, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/11).

Puan meyakini, kasus perampasan aset tanah yang dialami artis Nirina Zubir hanyalah salah satu contoh kasus mafia tanah yang banyak dialami warga masyarakat. Menurutnya kasus Nirina Zubir harus menjadi momentum pemberantasan mafia tanah sampai ke akar-akarnya.

Selain itu Puan menekankan, jaringan mafia tanah harus bisa diurai dan diberantas meski melibatkan banyak pihak. Dia menegaskan, setiap pelaku dalam jaringan mafia tanah harus dihukum berat-beratnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Tidak ada toleransi bagi mafia tanah perampas penghidupan orang. Tindakan mereka bisa membuat orang sengsara, maka hukum seberat-beratnya supaya mereka jera!" ungkapnya.

Mantan Menko PMK itu berharap Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menindak tegas apabila ada pegawainya yang terlibat dalam aksi mafia tanah. Sebab tak sedikit kasus-kasus perampasan tanah yang melibatkan oknum pemerintah.

"Pecat apabila ada oknum Kementerian ATR/BPN yang terlibat dalam kasus mafia tanah. Banyaknya kasus pertanahan juga menunjukkan belum maksimalnya tertib administrasi dalam pengelolaan BPN sehingga harus mendapat atensi yang lebih lagi," tegasnya.

Puan juga menyarankan agar dibentuk satuan tim pencegahan dan pemberantasan mafia tanah untuk menyelesaikan persoalan internal Kementerian ATR/BPN. Ia  mengingatkan BPN agar melakukan penyaringan yang ketat untuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

"Instansi yang memiliki kewenangan harus berupaya mencari SDM yang berintegritas agar masyarakat merasa aman ketika mengurus harta bendanya," tuturnya.

Puan juga meminta Kementerian ATR/BPN agar tak gentar menghadapi jaringan mafia tanah. Pemerintah bersama penegak hukum harus bisa bergandengan tangan untuk menghentikan praktik-praktik mafia tanah yang merajalela.

"Tingkatkan kerja sama lintas lembaga agar pencegahan dan penanganan lebih cepat terselesaikan," ucap Puan.

 

Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Tanah Polri sudah menetapkan sebanyak 61 orang tersangka dalam penanganan kasus-kasus mafia tanah. Para tersangka itu, terkait dengan 69 penanganan perkara kasus-kasus permafiaan tanah yang tersebar di sejumlah Kepolisian Daerah (Polda) di seluruh Indonesia. 

Kepala Divisi (Kadiv) Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo, mengatakan, data tersebut terangkum sepanjang Januari sampai Otkober 2021. "Kasus penanganan mafia tanah ini, menjadi fokus penanganan yang dilakukan oleh Polri dan Polda-Polda jajaran saat ini," ujar Dedi, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (19/11).

Dedi mengatakan, perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di seluruh jajaran Polda untuk tak ragu dalam mengusut dan membasmi praktik-praktik permafiaan tanah yang semakin marak saat-saat ini. "Kapolri menginstruksikan kepada seluruh jajaran untuk tidak ragu dalam mengusut dan menindak tegas praktik-praktik mafia dan pelaku-pelaku kejahatan ini," jelasnya.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri, Komisaris Besar (Kombes) Ahmad Ramadhan, menerangkan, rincian penanganan kasus mafia tanah yang dilakukan oleh Satgas Mafia Antimafia Tanah Polri. Kata dia, dari total 69 perkara mafia tanah yang saat ini ditangani Polri, ada sebanyak 5 perkara yang masih dalam proses penyelidikan. Adapun proses penyidikan, ada sebanyak 34 perkara. 

Sedangkan perkara yang sudah sampai tahap satu, tercatat 14 kasus. Pada tahap dua,  sebanyak 15 perkara. Dan ada satu kasus yang dihentikan penyelidikannya dengan penerapan restoratif justice.

"Ini karena antara pelapor dan terlapor menyelesaikan perkaranya di luar jalur hukum, dengan cara-cara yang berkeadilan," ujar Kombes Ramadhan. Dari total 69 kasus tersebut, kata Ramadhan, terbanyak ada di Jawa Timur (Jatim) dengan tujuh perkara.

Di Jawa Tengah (Jateng), penanganan perkara mafia tanah ada sebanyak empat kasus. Di Sulawesi Selatan (Sulsel) tercatat empat kasus. Dan empat kasus juga di Sulawesi Tengah (Sulteng). “Dari 69 perkara yang ditangani oleh Satgas Antimafia Tanah tersebut, sudah menetapkan sebanyak 61 orang tersangka,” terang Ramadhan.

Kata dia, dari puluhan tersangka itu, sudah melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersangka. Sebanyak 23 orang tersangka masih dalam proses pendalaman kasus, dan 29 tersangka sudah limpah ke jaksa penuntut umum untuk disidangkan. "Sementara atas dua tersangka, berstatus DPO (daftar pencarian orang)," jelas Ramadhan.

Sementara anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha, meminta pemberantasan mafia tanah harus jadi prioritas penegak hukum. Ia pun meminta Polri, Kejaksaan maupun KPK bersinergi berantas mafia tanah.

"Idealnya memang harus ada sinergi tiga komponen penegak hukum, artinya ada keinginan dan kemauan serius dari pemerintah, sekaligus membuktikan bahwa pemberantasan mafia tanah dilaksanakan," katanya, Ahad (8/11).

Menurutnya, aparat kepolisian harus terus membuktikan upaya yang maksimal, termasuk mengejar para pelaku yang masih buron. Abdul Rachman menyebut konflik tanah ini seperti api dalam sekam yang bisa mengakibatkan ledakan konflik di tanah air.

Menurutnya, konflik bisa jadi terjadi bukan hanya antar individu, antar keluarga, hingga antar kelompok masyarakat. "Laporan dari berbagai dapil, banyak sekali aduan ke DPD mengenai persoalan konflik tanah. Hal ini menunjukkan mafia tanah masih merajalela," katanya.

Masih banyaknya mafia tanah ini, kata dia, menjadi indikasi takluknya negara dalam memastikan sistem kepemilikan dan penguasaan tanah secara layak. "Presiden memang membagikan akte tanah ke warga, itu memang baik, namun jauh dari cukup. Harusnya ada pembenahan karena titik pangkal pemalsuan kerap ditemukan di BPN. Masih ada oknum-oknum yang terlibat dalam pemalsuan dokumen pertanahan itu sendiri," kata Abdul Rachman.

Komisioner Ombudsman RI, Mokh Najih, menilai kinerja Polri dan juga Satgas Mafia Tanah di Kementerian ATR/BPN masih angin-anginan, oleh karena itu satgas diharapkan bisa menuntaskan kasus mafia tanah yang kian banyak laporannya. "Satgas itu sebenarnya sangat strategis, jika mampu berperan secara konsisten, sebab akan memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pertanahan," kata Najih.

 

Dalam arti pelayanan publik bidang pertanahan dapat menunjukkan kinerja yang semakin mudah, cepat dan murah, namun kenyataan ya keluhan publik ke Ombudsman di bidang ini masih tinggi, masuk tiga besar dari laporan masyarakat. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler