Perubahan Mindset Prioritas Antisipasi Pendidikan Masa Depan
Sudah saatnya Kemendikbudristek memandang permasalahan ini dengan cara pandang baru.
REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Perubahan mindset dinilai merupakan prioritas utama yang harus dilakukan untuk mengantisipasi sistem pendidikan ke depan, yaitu sebesar 21-27 persen. Selanjutnya diikuti oleh penciptaan ekosistem sekolah 18-23 persen, lalu pengembangan profesionalisme guru 15-19 persen, dan keterhubungan dengan lingkungan rumah dan sosial 11-16 persen.
"Data ini dikutip dari analisa McKinsey dalam OECD PISA 2015 terhadap sekolah-sekolah di seluruh benua tentang urutan prioritas perubahan yang harus dilakukan di dunia pendidikan," ujar pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal dalam pelatihan penguatan ekosistem Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan di Kota Tangerang, Jumat (19/11).
Survei dari McKinsey ini, kata Rizal, sejalan dengan empat strategi perubahan yang dirancang oleh GSM untuk diimplementasikan kepala sekolah setelah melakukan pelatihan perubahan mindset. Strategi perubahan tersebut antara lain kepemimpinan sekolah transformatif, lingkungan belajar positif dan keterhubungan sosial, pembelajaran berbasis penalaran dan kesadaran diri, dan pengembangan praktik bersama.
"Strategi ini berdampak pada tumbuhnya ekosistem baru yang memberikan ruang bagi setiap murid dan warga sekolah untuk menemukan potensi terbaiknya yang unik dan beragam," ujar Rizal yang menjadi pemateri dalam pelatihan yang digelar 17-19 November 2021 tersebut.
Menurut Rizal, sudah saatnya Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memandang permasalahan ini dengan cara pandang yang baru dan lebih fundamental. Sebab, berbagai permasalahan terkait soft skill siswa SMK seperti inisiatif yang kurang, tidak tahan tekanan, kurangnya kemampuan komunikasi dan kerja sama, yang sudah larut terjadi harus segera ditemukan jalan keluarnya.
"Padahal, penelitian McKinsey menyebutkan bahwa kompetensi di masa depan lebih membutuhkan kemampuan softskills seperti kemampuan berfikir kritis, kreativitas, komunikasi, kemampuan perencanaan, fleksibel, kerja sama, kesadaran diri, dan juga literasi digital," katanya.
Rizal ingin mengajak kepala sekolah dan guru-guru di Indonesia untuk mengedepankan ekosistem yang membuat anak-anak kita lebih kreatif dan beyond the book. Hal ini sangat ia tekankan agar jumlah orang yang kreatif dan produktif (top class) dapat semakin banyak sehingga anak Indonesia tidak lagi merasa terancam akan posisinya yang terganti dengan robot dan mesin otomasi.
Menurutnya, perubahan itu hanya bisa dijawab dengan paradigma pendidikan yang berorientasi individual kecakapan manusia, bukan pada penyeragaman dan linieritas. Dengan pembelajaran personalisasi, siswa didorong untuk menemukan versi terbaiknya serta selalu ingin belajar terus menerus memperbaiki diri agar adaptif dengan tuntutan perubahan dunia yang sangat cepat saat ini.
"Sayangnya, seperti keluhan banyak peserta, pelatihan kepada kepala sekolah dan guru yang selama ini terjadi tampak tidak ada korelasi dengan pembiayaan sekolah dan hasil belajar," ujar Rizal.
Dalam peta jalan pendidikan Indonesia 2020 juga disebutkan bahwa permasalahan yang menghambat peningkatan hasil belajar pendidikan adalah hampir tidak adanya korelasi antara pelatihan guru dan bantuan pembiayaan sekolah. Kesenjangan pemerintah ini coba dipecahkan oleh GSM melalui pelatihan perubahan mindset kepada kepala sekolah dan guru-guru untuk menciptakan ekosistem belajar yang positif serta membangun penalaran dan kesadaran diri siswa. Sehingga, ketika Kemendikbudristek meluncurkan kurikulum baru atau kebijakan baru, akan mudah diterapkan tanpa keluar dari substansinya.
Pelatihan kepada kepala SMK bukan Pusat Keunggulan ini menjadi lebih menarik karena bisa menjadi awal untuk melakukan pelatihan bagi SMK non-PK lainnya yang jumlahnya lebih banyak. Sehingga, harapannya, terjadi pemerintaaan kualitas pendidikan atas kesenjangan lebar yang terjadi di dunia sekolah kita.
"Komunitas SMK yang terpapar oleh GSM menjadi lebih luas sehingga GSM memiliki kesempatan untuk melakukan pendampingan komunitas SMK yang lebih beragam. Pada akhirnya, yang mendapatkan manfaat adalah siswa didik kita tanpa terkecuali," kata Rizal.
Pelatihan yang merupakan kolaborasi Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi melalui Direktorat Mitra Strategi Dunia Usaha Dunia Industri (Mitras DUDI) dengan GSM ini diikuti sebanyak 99 kepala sekolah yang bukan SMK Pusat Keunggulan dari hampir seluruh provinsi Indonesia. Pelaksanaan pelatihan penguatan ekosistem SMK dengan perubahan paradigma baru ini menunjukkan arah kementerian yang mulai menganggap perubahan kebijakan perlu dimulai dari perubahan pola pikir manusianya dan ekosistem sekolahnya sehingga diharapkan lebih berdampak secara jangka panjang.
"Pengembangan sekolah khususnya SMK tidak bisa dilakukan secara parsial. Kami melihat bahwa harus ada upaya yang saling terkait dan berkesinambungan guna memastikan investasi yang dilakukan oleh pemerintah bisa optimal," ungkap Pelaksana Direktur Mitras DUDI, Saryadi, yang turut hadir dalam seremonial pembukaan workshop tersebut.
Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarinto, menekankan bahwa berbagai macam hibah pembiayan sekolah, kurikulum operasional sekolah, serta upaya perubahan kebijakan di kementerian ini menjadi tidak ada artinya ketika tidak diiringi oleh perubahan mindset kepala sekolah serta penciptaan ekosistem yang memberikan ruang untuk berkembang secara beragam.
Gerakan Sekolah Menyenangkan sudah melaksanakan pelatihan perubahan mindset dan pendampingan kepada 10 batch kepala SMK Pusat Keunggulan dan Center of Excellence sejak tahun 2020. Pelatihan serupa juga pernah diterapkan kepada 100 kepala sekolah SMK di Papua dan Papua Barat pada Maret lalu.